Oleh: Bambang MuryantoSabtu, 26 Juli 2008 lalu kami memutuskan mendaki lereng selatan Gunung Merapi, tujuannya satu: melihat anak burung elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang baru menetas dari telurnya. Kegembiraan yang menyelimuti hati kami semua membuat perjalanan mendaki yang dimulai dari Desa Cangkringan, Sleman, Yogyakarta itu tidak terasa melelahkan. Apalagi di sepanjang perjalanan, kicauan aneka burung penghuni hutan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) itu melantunkan ‘orkestra alam’ yang sangat indah.
Kelahiran anak elang jawa ini memang sebuah berita menggembirakan bagi komunitas pecinta burung di Yogyakarta. Ini adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. “Kami sudah mencari sarang aktif (digunakan untuk bertelur) sejak tahun 1999, baru kali ini ketemu,” ujar Ige Kristanto, Direktur Yayasan Kutilang Indonesia (YKI), sebuah LSM yang memberikan perhatian terhadap kelestarian burung di alam.
Menemukan sarang aktif elang jawa di hutan di lereng Selatan Gunung Merapi seluas ratusan hektar itu ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Pasalnya jumlah spesies raptor ini tinggal hitungan jari. Bernardus Bambang Setyawan (Wawan) dari YKI mengatakan tahun 2004, tercatat hanya tinggal 5 ekor yang tersisa di lereng selatan Gunung Merapi! Kebiasaan elang jawa membangun sarangnya di hutan primer yang masih lebat semakin mempersulit penemuan sarangnya.
Ya, elang jawa adalah spesies burung endemik (hanya hidup) di Pulau Jawa yang jumlah populasinya terus menurun. Tidak ada angka pasti berapa jumlahnya di seluruh Pulau Jawa. Penelitian Vincent Nijman, seorang ahli burung dari Zoological Museum, Universitas Amsterdam yang berjudul “Habitat Segregation in Two Congeneric Hawk-eagles (Spizaetus bartelsi and S cirrhatus” yang dimuat dalam Journal of Tropical Ecology (Cambridge University Press, 2004) mencatat hanya ada 45 ekor di 12 spot area di seluruh Pulau Jawa.
Pembabatan hutan (tinggal 10 persen dari total luas Pulau Jawa), perburuan dan dampak dari penggunaan pestisida yang intensif menjadi penyebab utama menurunnya populasi spesies ini. IUCN memasukkan elang jawa ke dalam daftar burung yang statusnya genting (endangered). Selain itu elang jawa juga masuk dalam Appendix II, CITES, artinya hanya hasil dari penangkaran saja yang boleh diperdagangkan, itupun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Setelah berjalan selama kurang lebih satu jam, akhirnya kami (6 orang) sampai di kawasan Alas Tekek yang terletak sekira 1400 meter di atas permukaan laut. Di kawasan hutan inilah sarang elang jawa itu berada. Tanpa istirahat, Wawan langsung membuka monokuler dan mengarahkannya ke sarang elang jawa itu yang berjarak sekira 200 meter di seberang aliran sungai kecil. Lokasi sarang itu terletak di atas pohon ficus yang tumbuh tinggi di vegetasi hutan yang menutup lereng sebuah tebing. Pohon ficus itu berdekatan dengan pohon-pohon lainnya, cabangnya saling bersentuhan.
Dengan hati penuh suka cita bercampur rasa penasaran, satu per satu dari kami mengintipkan mata melalui monokuler. Kami semua berharap dapat melihat segera melihat anakan elang jawa yang pasti sudah mempunyai bulu-bulu putih sehalus kapas di seluruh tubuhnya itu. Namun ternyata kami tidak menemukan apa yang kita harapkan itu. Sarang yang sedikit tertutup sulur-sulur pohon itu kosong!
“Mungkin anakan elang jawa itu sedang tidur meringkuk sehingga tidak terlihat,” hibur kami. Sambil menunggu, kami pun beristirahat. Wawan menjelaskan, ia menemukan sarang elang jawa itu ketika melakukan pengamatan burung totor di Alas Tekek 4 Juli lalu.“Tiba-tiba saya mendengar lengkingan suara elang jawa yang riuh,” ungkap Wawan.
Ia pun mencari dari mana suara itu berasal. Setelah beberapa saat ia menemukan asal suara itu. Sepasang elang jawa sedang memangsa hasil buruannya di sarang mereka. Daging mangsa itu ia cabik-cabik dengan paruhnya yang tajam. Tak lama kemudian sang jantan naik ke atas punggung sang betina, ya mereka melakukan kopulasi! Hati Wawan pun begitu gembira, ada harapan sang betina akan bertelur dan seekor anak elang jawa akan lahir.
Beberapa hari kemudian, ketika Wawan melakukan pengamatan lagi, sang induk sudah mulai mengerami telurnya. Berdasarkan penelitian, sepasang elang jawa akan berkembang biak satu tahun sekali (antara Mei hingga Agustus). Sang betina hanya bertelur satu butir dan akan dierami selama 48 hari. Baik jantan maupun betina akan bergantian mengeraminya. Menurut Wawan, telur itu menetas antara tanggal 18 hingga 22 Juli lalu. Setelah itu baik sang jantan dan betina sibuk berburu dan memberi makan kepada anaknya.
Dengan kelahiran anak elang jawa itu, YKI pun bersiap-siap menjalankan program Jogja Bird Rescue (JBR). Dalam program ini YKI meminta para pengamat burung (bird watcher) yang umumnya para mahasiswa itu agar secara sukarela menunggui sarang dari pagi hingga sore secara bergantian. Beberapa waktu lalu program ini sukses menjaga beberapa anakan elang hitam sehingga dapat selamat dari tangan-tangan jahil para pemburu.
Hari sangat cerah, di utara Gunung Merapi yang terus berasap tampak begitu indah dan gagah. Sementara kami beristirahat dan bertukar cerita, induk elang jawa terbang di sekitar lokasi sarang. Salah satu induk itu sempat melakukan ‘pertarungan udara” dengan seekor gagak, tetapi si elang jawa memilih mengalah.
“Elang jawa itu gagah tetapi penakut,” komentar Ige Kristanto. Diantara jenis raptor lainnya, walaupun bertubuh agak kecil, elang jawa mempunyai wajah paling tampan dan gagah. Itu berkat jambul indah berwarna coklat kehitamanan dan berjumlah dua hingga empat yang tumbuh di kepalanya.
Beberapa saat kemudian, elang jawa itu tampak lagi melayang-layang di udara, lenyap di balik hutan dan kemudian muncul kembali tak jauh dari posisi kami beristirahat. Matahari makin tinggi, itu adalah waktu yang tepat bagi para raptor untuk berburu. Udara panas yang mulai naik menyebabkan burung pemakan daging ini mampu soaring, terbang melayang sambil mengintai mangsanya. Burung-burung kecil, ular, kelelawar, anak monyet ekor panjang, tikus dan kadal adalah beberapa jenis mangsanya. Tetapi elang jawa paling suka memangsa tupai.
Dengan binokuler, kami dapat melihat tubuhnya yang memiliki panjang 60 – 70 cm itu tertutup bulu berwarna coklat. Pada sayap bagian bawah berwarna hitam dan putih berselang-seling. Menurut Ige Kristanto bila sudah menemukan mangsanya, elang jawa akan hinggap di pohon yang tidak jauh dari mangsa itu berada. Saat waktunya tepat, dengan kecepatan luar biasa ia menyambar mangsanya.
Satu jam berlalu. Wawan dengan menggunakan monokuler kembali melihat ke sarang elang jawa itu. Kali ini, anakan elang jawa itu belum terlihat juga. Sang induk juga tidak lagi mampir di sarangnya, ini sesuatu yang aneh! Didorong rasa penasaran, Wawan memutuskan untuk memeriksanya dari posisi lain yang berjarak lebih dekat. “Jika anakan itu hilang, kemungkinan diambil kawanan kera ekor panjang. Sebab kemarin Azat (aktivis dari YKI) melihat banyak kawanan kera ekor panjang mendekati sarang itu,” ujar Wawan sebelum meninggalkan kami.
Satu hari kemudian, sebuah SMS dari Ige Kristanto masuk ke handphone milik penulis, isinya singkat,”Anakan elang jawa positif hilang. Tersangkanya kemungkinan besar adalah kera ekor panjang!” Ketika bertemu dengan penulis, Azat membenarkan saat menjelang sore hari ia melihat kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) menyatroni sarang elang jawa itu. “Induknya sempat menyambar-nyambar kawanan kera itu,” ujarnya.
Mungkin karena jumlahnya terlalu banyak, sang induk tak mampu menyelamatkan anak semata wayangnya itu. Memang, Azat tidak sempat melihat secara langsung kawanan kera itu mengambil anakan elang jawa itu sebab hari sudah menjelang maghrib dan ia harus turun. Tetapi paling tidak kawanan kera ekor panjang itu adalah ‘tersangka’ yang terlihat paling akhir di lokasi sarang.
Kegembiraan yang sempat menaburi para aktivis YKI surut, berganti dengan kesedihan. Program JBR pun urung dilaksanakan. Rencananya, ia juga akan mengundang Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto untuk menyaksikan peristiwa langka itu.
Namun ternyata alam berkehendak lain. Anak elang jawa itu harus mati, kemungkinan dimakan kawanan kera ekor panjang. Sebuah harapan baru kelestarian elang jawa di lereng selatan Gunung Merapi pun pupus sudah. “Mungkin kita harus melakukan tabur bunga,” ujar Ige Kristanto yang mencoba menghibur dirinya.
Wednesday, December 24, 2008
Kisah Raibnya Anak Elang Jawa di Lereng Gunung Merapi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment