No. 017/AJI-Adv/PS/II/2009
Pernyataan Sikap Aliansi Jurnalis Independen (Indonesia)
Pada Hari Jumat, tanggal 30 Januari, aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan melimpahkan berkas penyidikan terhadap Upi Asmaradhana ke Kejaksaan Tinggi Setempat. Upi, koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers, dituduh mencemarkan nama baik Mantan Kepala Polda Sulawesi Selatan, Irjen Polisi Sisno Adiwijoyo. Kasus Upi ini bermula dari protes yang dilakukannya terhadap pernyataan Irjen Sisno bahwa penanganan kasus pers tidak perlu menggunakan mekanisme sesuai yang diatur UU Pers.
Atas tanggapan yang dilakukan dengan unjuk rasa itu, Polda Sulsel menanggapinya dengan melakukan tindakan hukum pidana. Di negara demokratis seperti Indonesia saat ini, perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pemenjaraan. Jika Irjen Sisno atau siapapun yang tidak setuju dengan pendapat Upi, seharusnya menjawab dengan argument-argumen ilmiah.
Namun, yang terjadi dalam kasus Upi ini Irjen Sisno justru merespon dengan melakukan langkah hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tindakan tersebut bukan hanya mematikan dialog public, tapi juga berpotensi melahirkan penyalahgunaan kekuasaan, mengingat posisi Irjen Sisno saat itu dalah Kapolda Sulawesi Selatan.
Pencemaran nama baik (defamation) semestinya bukan lagi menjadi masalah hukum pidana, namun masalah hukum perdata. Banyak negara yang sudah menghapuskan delik pencemaran nama baik (criminal defamation) dari hukum pidana mereka. Penyelesaian kasus-kasus pencemaran nama baik sudah seharusnya dilakukan melalui jalur perdata.
Padahal, penindakan kasus-kasus pencemaran nama baik secara pidana hanya akan berakibat buruk terhadap kebebasan berekspresi, yang merupakan hak asasi manusia dan dilindungi konstitusi. Hukuman badan (penjara) terhadap pelaku pencemaran nama baik juga sudah dihilangkan di banyak tempat.
Dalam sejarahnya, delik pencemaran nama baik (criminal defamation) digunakan untuk mengekang daya kritis rakyat guna melanggengkan kekuasaan. Di Indonesia, delik pencemaran nama baik diadakan untuk menekan para pejuang kemerdekaan agar tidak merongrong kekuasaan kolonial Belanda kala itu. Padahal, di negeri Belanda sendiri delik tersebut sudah dihapuskan ratusan tahun lalu.
Di negara-negara demokratis, pencemaran nama baik ditangani secara perdata (civil defamation). Hal ini untuk menyeimbangkan hak asasi masyarakat untuk berekspresi dan hak atas privasi warga negara. Sebab, penghinaan bukan masalah public tapi masalah privat. Sedangkan kebebasan berekspresi adalah hak publik yang harus dilindungi secara hukum. Pencemaran nama baik semestinya diselesaikan sesuai hukum privat. Para pihak harus diberi kesempatan untuk bermediasi, jalan damai harus selalu dibuka selebar-lebarnya.
Hukuman untuk pelaku pencemaran nama baik seharusnya cukup ganti rugi, bukan hukuman penjara. Namun, kini di depan mata kita, penindakan hukum pidana terhadap kasus pencemaran nama baik kembali terjadi. Kali ini, dialami oleh Upi Asmaradhana, mantan koresponden Metro TV di Makassar.
Oleh karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan kekecewaan dengan tindakan aparat polisi yang tetap berusaha memidanakan Upi Asmaradhana. Sebagai bentuk protes atas kekecewaan tersebut, AJI Indonesia menyatakan sikap: Meminta penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan, menggunakan haknya untuk melakukan deponeering (menghentikan) kasus hukum Upi Asmaradhana, untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar, yaitu kebebasan berekspresi yang merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penegak hukum memiliki hak untuk men-deponeering kasus pidana dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kepentingan umum. Kebebasan berekspresi dan kebeban pers harus dilihat sebagai kepentingan umum yang harus dilindungi. Kepentingan umum tersebut kini terancam oleh berlakunya criminal defamation, pasal warisan penjajah Belanda;
AJI Indonesia meminta kebesaran Irjen Sisno Adiwiwinoto untuk bersedia mencabut pengaduan kasus ini dan bersedia berunding. Penyelesaian secara mediasi akan lebih menguntungkan kedua belah pihak, termasuk pihak Irjen Sisno. Sementara, penanganan masalah ini secara pidana tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah membuat situasi semakin berlarut-larut;
Meminta Kepolisian Republik Indonesia mengawasi kasus ini agar tidak terjdi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Posisi Irjen Sisno sebagai Kapolda Sulsel saat itu yang memerintahkan bawahannya yang memeriksa kasus ini berpotensi melahirnya penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya penanganan kasus hukum dilakukan secara netral dan bebas dari kepentingan jabatan;
Meminta segala pihak tidak mengekang kebebasan berpendapat dan mengembangkan diskusi publik. Diskusi publik merupakan elemen penting dalam demokrasi. Oleh karena itu, diskusi publik tidak boleh dimandulkan oleh ancaman-ancaman pidana.
Jakarta, 1 Februari 2008
Nezar Patria Margiyono
Ketua Umum Koordinator Departemen Advokasi
Pernyataan Sikap Aliansi Jurnalis Independen (Indonesia)
Pada Hari Jumat, tanggal 30 Januari, aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan melimpahkan berkas penyidikan terhadap Upi Asmaradhana ke Kejaksaan Tinggi Setempat. Upi, koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers, dituduh mencemarkan nama baik Mantan Kepala Polda Sulawesi Selatan, Irjen Polisi Sisno Adiwijoyo. Kasus Upi ini bermula dari protes yang dilakukannya terhadap pernyataan Irjen Sisno bahwa penanganan kasus pers tidak perlu menggunakan mekanisme sesuai yang diatur UU Pers.
Atas tanggapan yang dilakukan dengan unjuk rasa itu, Polda Sulsel menanggapinya dengan melakukan tindakan hukum pidana. Di negara demokratis seperti Indonesia saat ini, perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pemenjaraan. Jika Irjen Sisno atau siapapun yang tidak setuju dengan pendapat Upi, seharusnya menjawab dengan argument-argumen ilmiah.
Namun, yang terjadi dalam kasus Upi ini Irjen Sisno justru merespon dengan melakukan langkah hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tindakan tersebut bukan hanya mematikan dialog public, tapi juga berpotensi melahirkan penyalahgunaan kekuasaan, mengingat posisi Irjen Sisno saat itu dalah Kapolda Sulawesi Selatan.
Pencemaran nama baik (defamation) semestinya bukan lagi menjadi masalah hukum pidana, namun masalah hukum perdata. Banyak negara yang sudah menghapuskan delik pencemaran nama baik (criminal defamation) dari hukum pidana mereka. Penyelesaian kasus-kasus pencemaran nama baik sudah seharusnya dilakukan melalui jalur perdata.
Padahal, penindakan kasus-kasus pencemaran nama baik secara pidana hanya akan berakibat buruk terhadap kebebasan berekspresi, yang merupakan hak asasi manusia dan dilindungi konstitusi. Hukuman badan (penjara) terhadap pelaku pencemaran nama baik juga sudah dihilangkan di banyak tempat.
Dalam sejarahnya, delik pencemaran nama baik (criminal defamation) digunakan untuk mengekang daya kritis rakyat guna melanggengkan kekuasaan. Di Indonesia, delik pencemaran nama baik diadakan untuk menekan para pejuang kemerdekaan agar tidak merongrong kekuasaan kolonial Belanda kala itu. Padahal, di negeri Belanda sendiri delik tersebut sudah dihapuskan ratusan tahun lalu.
Di negara-negara demokratis, pencemaran nama baik ditangani secara perdata (civil defamation). Hal ini untuk menyeimbangkan hak asasi masyarakat untuk berekspresi dan hak atas privasi warga negara. Sebab, penghinaan bukan masalah public tapi masalah privat. Sedangkan kebebasan berekspresi adalah hak publik yang harus dilindungi secara hukum. Pencemaran nama baik semestinya diselesaikan sesuai hukum privat. Para pihak harus diberi kesempatan untuk bermediasi, jalan damai harus selalu dibuka selebar-lebarnya.
Hukuman untuk pelaku pencemaran nama baik seharusnya cukup ganti rugi, bukan hukuman penjara. Namun, kini di depan mata kita, penindakan hukum pidana terhadap kasus pencemaran nama baik kembali terjadi. Kali ini, dialami oleh Upi Asmaradhana, mantan koresponden Metro TV di Makassar.
Oleh karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan kekecewaan dengan tindakan aparat polisi yang tetap berusaha memidanakan Upi Asmaradhana. Sebagai bentuk protes atas kekecewaan tersebut, AJI Indonesia menyatakan sikap: Meminta penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan, menggunakan haknya untuk melakukan deponeering (menghentikan) kasus hukum Upi Asmaradhana, untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar, yaitu kebebasan berekspresi yang merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penegak hukum memiliki hak untuk men-deponeering kasus pidana dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kepentingan umum. Kebebasan berekspresi dan kebeban pers harus dilihat sebagai kepentingan umum yang harus dilindungi. Kepentingan umum tersebut kini terancam oleh berlakunya criminal defamation, pasal warisan penjajah Belanda;
AJI Indonesia meminta kebesaran Irjen Sisno Adiwiwinoto untuk bersedia mencabut pengaduan kasus ini dan bersedia berunding. Penyelesaian secara mediasi akan lebih menguntungkan kedua belah pihak, termasuk pihak Irjen Sisno. Sementara, penanganan masalah ini secara pidana tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah membuat situasi semakin berlarut-larut;
Meminta Kepolisian Republik Indonesia mengawasi kasus ini agar tidak terjdi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Posisi Irjen Sisno sebagai Kapolda Sulsel saat itu yang memerintahkan bawahannya yang memeriksa kasus ini berpotensi melahirnya penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya penanganan kasus hukum dilakukan secara netral dan bebas dari kepentingan jabatan;
Meminta segala pihak tidak mengekang kebebasan berpendapat dan mengembangkan diskusi publik. Diskusi publik merupakan elemen penting dalam demokrasi. Oleh karena itu, diskusi publik tidak boleh dimandulkan oleh ancaman-ancaman pidana.
Jakarta, 1 Februari 2008
Nezar Patria Margiyono
Ketua Umum Koordinator Departemen Advokasi
No comments:
Post a Comment