Saat berolah raga pagi di Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta, Budi Hartono SH dari LBH Yogyakarta memberikan informasi menarik. Lawyer senior ini mengatakan, siang nanti ada copet-copet yang datang ke LBH untuk mencari perlindungan hukum karena sering diperas oknum polisi. Wah, ini berita menarik!
Rabu pagi (4/2) saya memaksakan diri meluncur ke kantor LBH Yogyakarta. Benar saja, ada sekira 13 pria, muda dan setengah umur yang berdatangan ke kantor para pembela hukum itu. Inilah para copet itu, pikir saya dalam hati. Ada yang bertampang gahar dengan tatto di lengan, tetapi ada pula yang bernampilan biasa. Tetapi ternyata tidak semuanya masih menjalankan pekerjaan itu, ada yang sudah pensiun dan insaf.
Cukup lama menunggu, akhirnya para copet itu masuk ke ruang pertemuan LBH Yogyakarta. Di ruangan itu, Ahmad Deva Permana meminta kepada para pencopet itu untuk mengutarakan maksud kedatangan mereka ke LBH Yogyakarta agar didengar para jurnalis yang hadir dalam pertemuan itu.
Sungguh sangat mengejutkan ketika para copet itu secara bergantian menceritakan pengalamannya saat berurusan dengan oknum polisi yang mereka sebut dari kesatuan Buser Reskrim Poltabes Yogyakarta itu. Polisi sebagai penegak hukum tidak menangkap para pencopet itu tetapi justru sering memeras dan menganiaya para pelanggar hukum itu. Bahkan ada pula oknum yang mendorong para copet yang sudah insaf untuk melakukan pekerjaannya lagi.
Kasus paling akhir terjadi 21 Januari 2009 lalu. Seorang copet yang karena alasan keamanan tidak mau disebutkan namanya bercerita oknum Buser Reskrim Poltabes Yogyakarta berinisial A membuntuti dirinya yang sedang naik bus kota. Oknum polisi yang tidak berseragam dinas itu kemudian menghentikannya di wilayah Gamping. Kemudian A menggeledah, tetapi tidak ditemukan barang bukti. Namun ternyata urusannya belum selesai, A kemudian memukuli sang copet di bagian mata sembari minta uang Rp 3 juta. Karena tidak punya, permintaan diturunkan menjadi Rp 1,5 juta. Sang copet kemudian menyanggupi dan akan memberikan pada Sabtu malam minggu,”Tetapi saya tidak memberikannya,” ujarnya.
Kasus inilah yang membuat sekelompok copet di Kota Yogyakarta ini habis kesabarannya dan melaporkan kasus penganiayaan itu kepada LBH Yogyakarta. Mereka sudah jengah dengan kelakuan A yang suka memeras dan main tangan itu. “Kami minta agar kelakuan oknum polisi itu diproses secara hukum,” ujar salah seorang koordinator para copet itu.
Bagi para copet itu, diperas oknum polisi Buser Reskrim terutama yang berinisial A sudah lama mereka alami. Minta uang untuk sekedar beli voucher HP sudah biasa. “Besarnya bisa sampai Rp 200 ribu, tetapi jika diberikan dalam bentuk voucher dia tidak terima, maunya mentahannya saja,” ujar seorang copet lainnya. Tidak jarang pula ia juga minta HP seri terbaru yang harganya jutaan rupiah.
Di kalangan para copet, oknum A terkenal kejam dan ‘mata duitan’. Jika minta uang sedapat mungkin harus dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, siksaan pasti akan dialami para copet. Masih menurut para copet itu ketika A yang masih kuliah di sebuah universitas itu akan PKL ke Pulau Bali, ia tega minta masing-masing Rp 200 ribu dari 20 copet. Namun tidak semua oknum polisi sekejam A. Ada yang mau menerima walaupun diberi sebungkus rokok.
Cerita tentang pengalaman di masa lalu terus mengalir. Pernah suatu ketika, beberapa copet tertangkap dan mereka kedapatan membawa barang bukti. Seharusnya para penegak hukum itu memprosesnya secara hukum. Tetapi kenyataannya, para copet itu tidak dibawa ke kantor polisi, namun dibawa ke kawasan lembah UGM. Di sana para oknum penegak hukum justru meminta sejumlah uang. Para copet itu mengatakan bila mereka tertangkap basah, sama sekali tidak pernah diproses secara hukum. Itulah sebabnya, mengapa tidak ada copet yang divonis hakim atas kesalahan yang diperbuatnya. “Ya saya jawab baiknya bagaimana karena polisinya bertanya, apike piye ki?” ujar koordinator copet.
Seorang bapak setengah umur yang menjadi copet sebagai pekerjaan samping turut bertukar cerita. Pernah saat dirinya berjalan dengan anaknya yang sudah besar tiba-tiba bertemu dengan A. Sungguh tak disangka karena A kemudian meminta handphone yang dipegang anaknya itu.
Memang menurut para copet itu, oknum polisi ini tidak hanya mendatangi para copet yang masih aktif. Yang sudah ‘pensiun’ pun tetap didatangi dan malah disuruh beroperasi lagi. “Kami ini sudah ingin insaf, malah disuruh jalan (mencopet) lagi,” ujar seorang pencopet yang sudah insaf.
Usai ‘curhat’ para copet itu dengan didampingi beberapa pengacara dari LBH Yogyakarta melaporkan kasus penganiayaan itu kepada Propam Polda DIY. “Bagaimana pun juga polisi tidak boleh melakukan pemukulan atau pemerasan,” ujar Deva yang menjadi salah satu kiasa hukum dari para copet itu. Deva juga mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Propam untuk melindungi para copet ini setelah mereka melaporkan kejadian ini.
Saat dikonfirmasi mengenai ulah oknum polisi anak buahnya itu, Kapoltabes Yogyakarta, Kombes Pol Agus Sukamso mengatakan jika para copet itu datang ke LBH Yogyakarta, seharusnya LBH Yogyakarta menyerahkannya kepada pihak kepolisian agar dapat diproses. Namun saat ditanyakan lagi tentang kelakuan oknum polisi yang ada dijajarannya terhadap para copet itu, Agus enggan berkomentar banyak. “Saya belum dengar jadi tidak ada komentar,” ujar Agus yang dihubungi via handphonenya. (Bambang MBK)
No comments:
Post a Comment