Fathuddin Muchtar
“Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah maupun swasta, pengadilan, pejabat-pejabat pemerintah maupun badan-badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Konvensi Hak Anak, pasal 3 ayat 1).”
Konvensi Hak Anak
Pada tanggal 20 November 1989 Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah dokumen yang berisi tentang hak-hak anak yang diberi nama Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC). Konvensi Hak-hak Anak (selanjutnya disebut konvensi) merupakan perjanjian antar bangsa-bangsa mengenai hak-hak anak di seluruh dunia dan telah diratifikasi oleh lebih dari 193 negara di dunia . Konvensi ini mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 2 September 1990 sesuai pasal 49 dari konvensi ini. Meratifikasi berarti terikat dengan isi konvensi dan wajib melakukannya pada tingkat pemerintahan masing-masing negara peserta, melalui pembuatan kebijakan nasional. Jika sebuah negara telah meratifikasi, maka negara peserta memiliki kewajiban secara moral dan politik melaksanakan isi konvensi tersebut. Konvensi internasional, khususnya yang berkaitan dengan HAM hanya mengatur relasi antara warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) dan negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban negara dalam kerangkan HAM adalah, melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), menghargai (to respect) dan menyebarluaskan (to promote). Setiap lima tahun sekali negara peserta wajib menyampaikan pelaksanaan isi KHA kepada Komite Hak Anak PBB.
Khusus untuk KHA, selain mengatur relasi negara dan anak, keterlibatan orang dewasa juga disebutkan di dalamnya sebagai pihak yang bertanggungjawab (others responsible). Hal ini dikarenakan anak-anak tidak dapat menuntut (claim) hak asasi mereka tanpa keterlibatan orang dewasa. Sangat berbeda dengan orang dewasa, ketika satu haknya dilanggar, maka dia dapat menklaim haknya sendiri melalui mekanisme yang ada.
KHA terdiri atas 54 pasal. Komite Hak Anak PBB telah membuat pembagian ke dalam cluster (bagian) menjadi delapan bagian. Salah satu bagian yang sangat penting di samping bagian isi adalah soal prinsip-prinsip umum yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak (cluster 3), yaitu; non diskriminasi, hak hidup dan kelangsungan hidup, kepentingan terbaik bagi anak dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Secara umum konvensi ini memberikan perlindungan, pemenuhan, penghargaan dan promosi terhadap hak anak, agar anak dapat merasakan seluruh-hak-haknya, sehingga terjauh dari tindakan kekerasan, pengabaian dan sebagainya. Dengan demikian anak-anak dapat “menjalani hidup sebagai pribadi dalam masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya semangat perdamaian, penghargaan atas martabat manusia, saling menghargai, kebebasan dan kesetiakawanan.”
Khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) dan anak korban kejahatan seksual (AKS), konvensi ini menempatkannya pada cluster yang ke delapan, yaitu perlindungan khusus . Pada anak dengan situasi tersebut di atas bisa dilihat pada pasal 37, 39 dan 40 (AKH) dan pasal 34 dan 39 (AKS).
Pelaksanaan KHA di Indonesia
Pada tanggal 25 Agustus 1990, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak. Keppres ini kemudian berlaku secara resmi pada bulan Oktober 1990 dan mengikat Indonesia untuk mengakui hak-hak anak sesuai yang ada di dalam KHA. Pengakuan pemerintah terhadap hak-hak anak wajib diwujudkan dalam peraturan nasional yang menjamin seluruh hak-hak anak. Sejak pemerintah Indonesia meratifikasi KHA pada tahun 1990, pemerintah baru membuat laporan kepada Komite Hak Anak di PBB baru sebanyak satu kali, yaitu pada tahun 2003, yang seharusnya jika mengikuti mekanisme konvensi ini sampai sekarang sudah membuat laporan sebanyak 4 kali. Dari sisi ini juga kita bisa menilai sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menjalankan konvensi yang telah diratifikasinya.
Perlindungan Khusus bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Istilah anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law) merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana atau divonis bersalah melakukan tindak pidana.
Sementara di dalam hukum nasional dikenal dengan istilah anak nakal. Ini bisa dilihat di dalam UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada pasal 1 ayat 2 (a dan b) disebutkan:
Anak nakal adalah : (a) anak yang melakukan tindak pidana; atau (b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak digunakan istilah anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi anak yang melakukan tidak pidana dan anak korban tindak pidana. Meskipun demikian, pada pasal lain dalam undang-undang ini, digunakan juga istilah anak yang berkonflik dengan hukum (pasal 64 ayat 1). Penggunaan istilah anak yang berkonflik dengan hukum adalah untuk menghilangkan stigma nakal bagi anak-anak. Istilah anak nakal cenderung menempatkan posisi anak dalam situasi negatif. Penamaan anak nakal juga dapat memberikan ruang baru bagi anak untuk menyesuaikan prilaku mereka sesuai dengan label nakal (kejahatan).
Perlakuan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum salah satunya dinyatakan di dalam pasal 37 ayat b KHA: “Tidak seorang anakpun dapat diarampas kebebasanya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat.”
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan situasi AKH, antara lain;
Usia pertanggunjawaban pidana (statutory crime); usia seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan sangat rendah, mulai dari usia 8 tahun. Dari perbandingan yang ada di seluruh dunia, usia ini sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana berkisar antara 12-17 tahun.
Hak atas identitas; belum semua anak memiliki akta kelahiran, sehingga kerap dijumpai usia anak direka-reka dan bahkan dinaikkan menjadi usia dewasa (dalam proses penyidikan di kantor polisi), sehingga proses yang diberlakukan adalah proses orang dewasa.
Hubungan dengan orangtua; umumnya AKH selalu dipisahkan dari orang tuanya sejak pertama kali berurusan dengan kepolisian. Konvensi hak anak menyatakan bahwa “tidak seorang anakpun dapat dirampas kebebasanya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat (pasal 37 ayat b).”
Kesehatan; perawatan kesehatan fisik dan psikis anak tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak-anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan/narapidana lainnya.
Pendidikan; anak-anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tidak bersalah.
Sistim administrasi peradilan anak; mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemenjaraan diduga kuat banyak melanggar hak-hak anak. Salah satu kasus yang menjadi sorotan PBB adalah masih terjadinya penyiksaan di LP. Anak Kutoarjo seperti yang dilaporkan oleh Manfred Nowak (Pelapor Khusus PBB untuk Masalah Penyiksaan) yang disampaikan kepada Committee Against Torture (CAT). Harap diingat bahwa pemenjaran hanya menghilangkan hak atas bergerak seseorang, sementara hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan oleh sesorang, khususnya oleh anak. Jika seorang anak dipidana penjara, maka seluruh hak-haknya wajib diberikan, misalnya hal atas pendidikan, hak untuk tidak memperoleh tindak kekerasan dan sebagainya.
Perlindungan Khusus bagi Anak Korban Kejahatan Seksual
Sejak UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak disahkan, penanganan anak korban kejahatan seksual mengalami sedikit kemajuan. Salah satu kemajuan yang pesat adalah soal umur anak dan sanksi yang dijatuhkan atas pelaku. Hanya saja, undang-undang ini belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum, sehingga masih sering terjadi kasus AKS pelakunya dijerat dengan pasal-pasal KUHP yang hukumannya masih jauh dari rasa keadilan korban. Pemberlakuan pasal di dalam KUHP juga sering membuat anak-anak yang menjadi korban, pada proses penyidikan, penuntutan dan persidangan mengalami “kekerasan” untuk yang ke sekian kalinya.
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan situasi AKS, antara lain;
Statury rape; adalah batasan usia secara hukum dimana pada usia tersebut seorang anak yang mengalami tindak kekerasan seksual by definition dianggap sebagai rape (pemerkosaan). Di dalam KUHP pasal 287 ayat 2, dinyatakan usia statutory rape adalah di bawah 12 tahun. Akibatnya anak-anak yang berusia di atasnya harus menjalani pemeriksaan yang sangat melelahkan dan bahkan mengalami “pemerkosaan” lagi.
Hak atas identitas; belum semua anak memiliki akta kelahiran, sehingga kerap dijumpai usia anak direka-reka dan bahkan dinaikkan menjadi usia dewasa (dalam proses penyidikan di kantor polisi), sehingga proses yang diberlakukan adalah proses orang dewasa.
Hubungan dengan orangtua; kaitannya jika yang menjadi pelaku adalah ayahnya sendiri. Pada situasi ini, anak korban harus dipisahkan dari orang tuanya. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan pengasuhannya?
Kesehatan; fisik, psikologis dan sosial. Anak korban mengalami cidera fisik, psikologi dan sosial, sehingga harus dipulihkan kembali. Proses pemulihan anak memakan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan perhatian khusus, khususnya untuk memulihkan kembali kondisi psikologisnya. Dalam banyak kasus, kerapkali juga ditemui anak-anak yang menjadi korban cenderung dijauhi oleh masyarakat, karena dianggap sudah ternoda.
Pendidikan; anak korban cenderung dikeluarkan dari sekolah, dengan alasan menjaga nama baik sekolah.
Penjatuhan vonis; vonis yang dijatuhkan belum memberikan rasa keadilan kepada korban. Pelaku dikenai hukuman penjara dan denda (jika menggunakan UU. No. 23 tahun 2002), tetapi tidak ada konpensasi kepada korban. Negara mengambil keuntungan dari penderitaan warga negara lainnya.
Kesimpulan
1. Komitmen pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak masih sangat jauh dari harapan terpenuhinya hak-hak anak, khsususnya anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan seksual.
2. Undang-undang maupun peraturan yang berkaitan dengan hak anak masih banyak yang belum comply dengan standar internasional, khususnya Konvensi Hak Anak. Negara dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia, salah satunya jika peraturan yang dibuat tidak sinkron dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi. Pelanggaran ini bisa dikategorikan by commision atau pelanggaran langsung yang dilakukan oleh negara.
3. Harus segera melakukan amandemen terhadap beberapa perundangan yang berkaitan dengan anak, sehingga hak-hak anak lebih terjamin sesuai dengan Konvensi Hak Anak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment