Tuesday, March 3, 2009

Perusakan Terumbu Karang di Pantai Selatan Yogyakarta Masih Terjadi


Oleh : Bambang MBK

Hari Minggu, wisatawan lokal memenuhi Pantai Baron di Kabupaten Gunung Kidul. Pantai yang berpasir putih ini memang cukup indah. Meskipun berombak besar, banyak wisatawan yang berani bermain-main di bibir pantai. Agak jauh dari bibir pantai segerombolan anak-anak muda, semuanya laki-laki asyik berjoget di depan panggung konser dangdut dengan penyanyi perempuan yang super seksi. Di timur panggung, berderet para penjual souvenir. Mereka menjual aneka jenis souvenir khas pantai seperti hiasan dari kerang, lobster dan kepiting besar yang diawetkan dan, wow, terumbu karang!

Terumbu karang berwarna putih yang dijajakan itu mempunyai ukuran sebesar genggaman orang dewasa. Ada yang dibiarkan tetap dalam bentuk alaminya, ada pula uang sudah dimodifikasi dengan hiasan dari kerang-kerangan. Karang dalam bentuk aslinya ditawarkan dengan harga antara Rp 1000 hingga Rp 3000 per biji. Sedangkan yang dimodifikasi berkisar Rp 5000 hingga Rp 10.000.

Bagi para wisatawan, terumbu karang mungkin akan menjadi pilihan souvenir yang menarik. Dapat digunakan sebagai hiasan untuk akuarium di rumah. Namun untuk mereka yang mengetahui ‘peta persoalan perusakan terumbu karang’, kenyataan itu pasti menyedihkan. Walaupun pemerintah secara resmi sudah melarang, perusakan terumbu karang masih terus terjadi.

Terumbu karang itu tidak hanya dijajakan di Pantai Baron saja tetapi juga di kawasan wisata lainnya seperti Pantai Kukup, Pantai Krakal dan beberapa pantai lainnya di kawasan Kabupaten Gunungkidul. Sementara di Pantai Drini, kita dapat menyaksikan pecahan terumbu karang berserakan di bibir pantai. Boleh jadi, perusakan terumbu karang secara intensif pernah terjadi di kawasan ini.

Walau tidak pernah diekspos, ekosistem terumbu karang berada di sepanjang pantai di Gunungkidul banyak. Secara tekinis, ini namanya karang tepi atau fringing reefs yang tumbuh tidak jauh dari bibir pantai.

Perusakan terumbu karang yang terjadi di wilayah pantai selatan di Gunungkidul ini hanyalah sebagian kecil dari fenomena perusakan terumbu yang masih terus saja terjadi di Indonesia. Pada tahun 1996, Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia mengatakan dari sekitar 50.000 km2 luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan hanya 7 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33 % baik, 46 % rusak dan 15 % lainnya sudah kritis.

Di seluruh dunia ekosistem terumbu karang yang kaya akan keragaman hayati dan menjadi pelindung wilayah pantai itu juga sedang mengalami kerusakan hebat. Penelitian dari Global Coral Reef Monitoring Network yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari dua per tiga terumbu karang di seluruh dunia mengalami kerusakan dan terancam punah saat ini.

Penyebabnya tidak lain adalah ulah manusia. Aktivitas manusia yang langsung merusak terumbu karang adalah pengambilan terumbu karang, membuang jangkar kapal dan menyebarkan apotas untuk mengambil ikan hias. Sedangkan factor utama penyebab kerusakan terumbu karang secara global adalah berbagai aktivitas manusia yang menyebabkan pemanasan global.

Sugeng, salah seorang penjual terumbu karang di Pantai Baron mengakui dirinya mengambil terumbu karang dari sekitar Pantai Baron. Pengambilan dilakukan pada saat laut sedang surut yaitu pada awal atau pertengahan bulan. Pada waktu surut, terumbu karang berada pada posisi tidak terlalu dalam dari permukaan air laut.

“Saya menggunakan linggis dan palu untuk mengambil terumbu karang,” ujar Sugeng. Menurutnya mengambil terumbu karang memerlukan keahlian khusus sebab jika tidak terbiasa, terumbu karang akan hancur. “Makanya tidak semua orang bisa mengambil terumbu karang,” tambah Sugeng.

Milah, seorang ibu beranak satu yang tinggal di Pantai Krakal, sekitar 6 km di timur Pantai Baron juga menjual terumbu karang. Berbagai ukuran terumbu karang dipajang di atas meja yang berada di depan rumahnya. Ada pula yang dijual dalam bentuk serpihan-serpihan kecil terumbu karang.

“Suami saya yang biasa mencari terumbu karang,” ujar Milah. Sambil melayani seorang pembeli, ibu bercucu satu ini mengatakan terumbu karang yang dijualnya itu berasal dari sekitar Pantai Krakal.

Milah bercerita setelah diambil dari laut, terumbu karang itu kemudian direndam beberapa hari dengan air tawar yang dicampur dengan deterjen. Hasilnya, terumbu karang menjadi putih dan terlihat indah dipandang mata. Jika tidak direndam, terumbu karang akan terlihat kusam.

Dibandingkan dengan tempat wisata lainnya, di Pantai Krakal terdapat banyak terumbu karang yang siap untuk dijual. Terumbu-terumbu karang itu diletakkan di belakang rumah-rumah penduduk yang ada di sana.

Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (Kapedal) Kabupaten Gunungkidul, Suryo Aji mengakui beberapa warga yang tinggal di sekitar pantai memang masih ada yang mengambil terumbu karang. Namun buru-buru ia menegaskan tidak semua terumbu karang yang dijual di tempat-tempa wisata pantai di Gunungkidul berasal dari wilayah yang sama.

“Ada pula terumbu-terumbu karang yang didatangkan dari Jawa Timur,” ujar Suryo Aji. “Bahkan ada pedagang yang berasal dari Wonosari yang secara rutin mendapat pasokan dari Jawa Timur.” Seorang tukang parkir di Pantai Baron juga bercerita soal ini.

Namun demikian, Suryo Aji mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul untuk melakukan pembinaan terhadap warga yang tinggal di wilayah pesisir untuk tidak merusak terumbu karang. Ada program pembentukan kelompok-kelompok peduli lingkungan di masyarakat pantai. Melalui kelompok ini, pemerintah menyampaikan pentingnya pelestarian lingkungan, tidak hanya terumbu karang saja tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan ekosistem pantai.

Hanya saja, Suryo Aji mengakui di beberapa tempat, kelompok peduli lingkungan ini belum dapat berjalan maksimal. Buktinya dapat dilihat, perusakan terumbu karang masih saja terjadi. “Kami akan melakukan monitoring lagi,” ujar Suryo Aji. Menurutnya kelompok yang sudah berjalan efektif ada di wilayah Pantai Wedi Ombo.

Lebih lanjut Suryo Aji juga mengatakan mereka yang sering mengambil terumbu karang tidak semuanya adalah nelayan yang tinggal di sekitar pantai. Ada juga pendatang yang bukan nelayan.

Lagi pula, mencari terumbu karang juga tidak menjadi mata pencaharian pokok. Alasannya, seperti dikatakan Suryo Aji, peminat terumbu karang tidak banyak sehingga hasil penjualan terumbu karang tidak dapat diandalkan, apalagi harga jualnya juga tidak mahal.

Apa yang dikatakan Suryo Aji memang masuk akal. Para wisatawan yang mengunjungi Pantai Baron, Krakal dan Kukup tidak banyak yang melirik dan membeli aneka souvenir terumbu karang. Mereka lebih banyak membeli makanan khas pesisir, ikan hias dan kelapa muda.

Tetapi bagaimana pun juga pengambilan terumbu karang masih terjadi. Ini harus dihentikan. Pasalnya, terumbu karang memerlukan waktu sangat lama untuk tumbuh. Menurut Yayasan terumbu Karang Indonesia (TERANGI) terumbu karang memerlukan waktu satu tahun untuk tumbuh sepanjang 1 cm (www.terangi.or.id).

Jadi dapat dibayangkan, terumbu karang sebesar genggaman tangan yang banyak dijual itu rata-rata berketinggian 10 cm. Artinya terumbu karang itu membutuhkan waktu sekitar 10 tahun. Setelah diambil, ia hanya dijual seharga Rp 1000 hingga Rp 3000, sebuah harga yang sama sekali tidak berarti.

Padahal jika dibiarkan, ekosistem terumbu karang yang termasuk ekosistem tertua di bumi ini akan memberikan keuntungan ekonomis sangat besar. .World Wildlife Fund (WWF) dalam salah satu penelitiannya menghitung, ekosistem terumbu karang di seluruh dunia mempunyai nilai ekonomis (termasuk dari sektor pariwisata dan perikanan) sebesar 30 juta dollar AS per tahun.

Terlepas dari kemampuannya dalam memberikan nilai ekonomis, ekosistem ini menjadi pelindung bagi masyarakat yang tinggal di pinggir pantai. Ekosistem terumbu karang menjadi benteng paling ampuh untuk mencegah abrasi laut. Mungkin inilah yang harus kita pikirkan bersama ketika harus melestarikan teumbu karang.


Tulisan ini pernah dimuat di majalah Kombinasi terbitan CRI












No comments: