Thursday, December 30, 2010

Catatan Kebebasan Pers 2010


DITULIS OLEH AJI INDONESIA

SELASA, 28 DESEMBER 2010 12:58

Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat kondisi kebebasan pers selama 2010 mengalami penurunan jika dibanding tahun lalu. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis, lemahnya perlindungan bagi jurnalis serta adanya regulasi dan rancangan regulasi yang membatasi kebebasan pers.

Kekerasan terhadap Jurnalis

Berdasarkan catatan AJI, jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2010 adalah 46, naik dari 37 kasus pada 2009. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami jurnalis meliputi:

1. Pembunuhan: 1 kasus, yakni yang dialami Ridwan Salamun dari Sun TV saat meliput bentrokan antar warga di Tual, Maluku Tenggara.

Catatan: Selain itu, ada tiga kasus kematian jurnalis yang misterius. Sampai saat ini tidak diketahui apakah dibunuh atau meninggal karena sebab lain. Perlu diketahui, pada 2009, Committee to Protect Journalists (CPJ) memasukkan Indonesia dalam daftar 14 negara paling berbahaya (deadliest countries) bagi jurnalis, karena tahun lalu terjadi satu kasus pembunuhan yang menimpa Anak Agung Prabangsa, wartawan harian Radar Bali.

2. Serangan fisik: 15 kasus

3. Pengerusakan Kantor : 2 Kasus

4. Pengusiran/larangan meliput: 7 kasus

5. Sensor: 2 kasus

6. Tekanan melalui hukum: 6 kasus

7. Ancaman&terror : 5 kasus

8. Perusakan Alat : 2 Kasus

9. Demonstrasi dan Pengerahan massa : 2 Kasus

Perlindungan bagi Jurnalis

Maraknya kekerasan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di wilayah konflik dan rawan. Lemahnya perlindungan tersebut berupa:

A. Perlindungan dari media tempat kerja

1. Tidak ada pelatihan keselamatan yang memadai bagi jurnalis yang bekerja di wilayah rawan, wilayah konflik, maupun yang meliput topik-topik berisiko seperti liputan lingkungan, korupsi maupun pemilukada;

2. Tidak ada protokol keselamatan yang disiapkan untuk menjadi prosedur baku bagi liputan-liputan berisiko. Padahal, protokol keselamatan sangat penting untuk mengurangi risiko jurnalis saat meliput di wilayah rawan maupun meliput topik berisiko.

3. Belum semua media memberikan fasilitas asuransi bagi jurnalisnya. Tiadanya asuransi membuat jurnalis yang menjadi korban kekerasan tak mendapat perlindungan financial bagi keluarganya.

4. Sebagian besar perusahaan media tidak menyediakan peralatan pengaman untuk liputan-liputan di daerah rawan, seperti rompi antipeluru, topi baja, pelampung, global positioning system dan lain-lain. Padahal alat-alat seperti itu sangat vital untuk menyelamatkan jurnalis dari risiko yang dihadapi.

B. Perlindungan dari Pemerintah:

Impunitas, atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. Tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan oleh pemerintah menyebabkan kasus kekerasan semakin meningkat, karena tidak ada efek jera bagi pelaku dan edukasi bagi masyarakat untuk mencegah kekerasan. Dari catatan AJI, hanya sebagian kecil kasus-kasus kekerasan yang diusut dan diadili. Sepanjang 2010, hanya satu kasus kekerasan yang pelakunya diadili yakni kekerasan oleh anggota TNI di Simeleu, Aceh, terhadap Ahmadi dari harian Rakyat Aceh.

Pengusutan kasus pembunuhan terhadap Ridwan Salamun oleh sekelompok warga tidak dilanjutkan. Polisi menghentikan pengusutan kasus ini dengan alasan bahwa Ridwan Salamun tidak melakukan kerja jurnalistik saat dibunuh. Malah, polisi menuduh Ridwan terlibat dalam perkelahian. Polisi juga mengatakan tidak menemukan kartu pers dan kamera pada Ridwan. Sementara, menurut saksi di lapangan, kartu pers dan kamera diambil oleh para pembunuh.

Polisi juga tidak mengusut tuntas kasus kematian Adriansyah Qomar Wibisono Matra’is di Merauke, kepala biro Kompas di Balikpapan, Muhammad Syaefullah dan Alfret Mirulewan, pemimpin redaksi Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya. Sampai saat ini polisi tidak pernah memberikan salinan laporan otopsi kedua jurnalis yang ditemukan meninggal secara tidak wajar tersebut kepada keluarga mereka atau media tempat mereka bekerja. Polisi juga tidak melakukan olah TKP secara profesional dalam kedua kasus itu. Polisi tidak memasang garis polisi dan mengambil sidik jari di TKP tempat ditemukan jenazah dua jurnalis itu.

Regulasi dan Kebijakan Media

1. Sensor Konten Internet

Pada tahun 2010, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengeluarkan kebijakan yang membatasi kebebasan internet. Kebijakan tersebut adalah Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang kemudian diubah nama menjadi RPM tentang Tatacara Penanganan Laporan Konten Internet Negatif. Sampai saat ini, Kemkominfo belum mengesahkan RPM tersebut, namun mengeluarkan surat edaran kepada perusahaan penyedia jasa internet (ISP) untuk melakukan filtering dan pemblokiran konten pornografi di Internet. Surat edaran itu menimbulkan problematika karena tidak ada definisi mengenai pornografi yang jelas. Sampai saat ini, definisi pornografi mengacu UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang merumuskan pornografi begitu luas. Ketidakjelasan definisi pornografi tersebut menjadi ancaman terhadap konten-konten nonpornografi yang memiliki batasan tipis dengan pornografi. Apalagi penentuan konten yang diblokir diserahkan kepada perusahaan ISP yang tentu saja tidak mengerti soal konten jurnalisme. Hal ini, selain menimbulkan ancaman blokir juga mencederai netralitas jaringan yang menjadi prinsip dalam hukum internet.

2. RUU Rahasia Negara

Setelah RUU Rahasia Negara dibatalkan oleh presiden tahun lalu, kini Kementerian Pertahanan kembali menyiapkan RUU Rahasia Negara. Dewan Perwakilan Rakyat juga telah menetapkan RUU Rahasia Negara sebagai program legislatif prioritas 2011.

RUU Rahasia Negara yang disiapkan Kemhan secara substantif bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dengan demikian, RUU Rahasia Negara berpotensi memereteli UU KIP. Substansi RUU Rahasia Negara seharusnya tidak bertentangan dengan substansi UU KIP. Rahasia negara harus dirumuskan secara terbatas, tidak boleh terlalu luas.

3. RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi

RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) menjadi prioritas prolegnas 2010, namun belum sempat dibahas oleh DPR. RUU ini akan menjadi prioritas 2011. Sampai saat ini, pemerintah belum mengeluarkan naskah akademik maupun RUU TIPITI yang resmi. Kemkominfo telah menyiapkan rancangan itu, namun demikian belum pernah disampaikan kepada publik.

Jika dilihat dari wacana pemerintah, substansi RUU TIPITI adalah sebuah peraturan yang represif untuk menekan kejahatan di dunia internet (cybercrime). Wacana yang dikembangkan oleh pemerintah adalah pemberian hukuman yang berat bagi pelaku tindak pidana internet. Jika RUU ini tidak dirumuskan dengan baik, maka akan berpotensi menjadi produk undang-undang seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Selain itu, AJI juga menilai perlu mengawal beberapa rancangan undang-undang yang menjadi program prioritas prolegnas 2010 dan akan dilanjutkan pembahasan pada 2011, yaitu:

1. Revisi UU Penyiaran. Ada beberapa perdebatan krusial revisi Undang-undang Penyiaran seperti peran Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator penyiaran, pengakhiran siaran nasional dan penggantian sistem siaran berjaringan, eksistensi lembaga penyiaran komunitas, penggabungan RRI dan TVRI, dan sebagainya. Revisi UU Penyiaran perlu mendapat perhatian khusus agar demokrasi penyiaran yang sudah tercapai selama ini tidak mengalami kemunduran.

2. RUU Konvergensi Telematika. RUU ini akan mengatur penggabungan dunia telekomunikasi, internet dan penyiaran (konvergensi) yang memang sudah menjadi keniscayaan dari tumbuhnya media baru. Pemerintah sudah menguji publik RUU Konvergensi selama 2010, namun naskah tersebut belum dibahas oleh DPR. Secara substansial, ada beberapa hal dalam RUU ini yang perlu dikritisi, terutama yang mengatur soal konten. RUU tersebut mewajibkan semua industri aplikasi telematika, termasuk konten, harus mendapat izin menteri. Jika ketentuan ini diterapkan, maka semua media online harus mendapat izin Menkominfo. Dengan demikian, secara substansial, RUU ini akan membawa media online ke rezim Orde Baru yang harus mendapat izin menteri. Sementara, menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, terhadap pers tidak dikenai SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Kewajiban izin bagi semua aplikasi telematika juga mengancam citizen journalism, sebab tidaklah mungkin setiap citizen journalist bisa memiliki izin, apalagi izin hanya diberikan kepada badan hukum.

3. Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

DPR sudah menetapkan revisi UU ITE menjadi program prolegnas prioritas 2010, namun sampai sekarang belum terlaksana. Pemerintah belum menyerahkan naskah revisi kepada DPR, sehingga belum dibahas sampai sekarang. Rencananya, pembahasan revisi UU ini akan dilakukan pada 2011.

4. Rancangan KUHP

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga menjadi prioritas prolegnas 2010, namun belum juga dibahas di DPR. Rancangan KUHP ini akan mengganti KUHP yang ada saat ini yang merupakan warisan penjajah Belanda. Ditilik substansinya, ada sisi positif dan negatif rancangan KUHP yang baru. Salah satu sisi positifnya, rancangan ini memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia. Namun, banyak juga sisi negative rancangan KUHP baru ini. Banyak pasal-pasal yang dapat digunakan untuk mempidana pers tidak dihilangkan, tapi malah ditambah. Pasal-pasal pencemaran nama, berita bohong, dan sebagainya masih menjadi substansi rancangan ini.

Demikian catatan mengenai kebebasan pers 2010. Banyak hal-hal yang harus menjadi perhatian kita pada 2011 nanti, baik itu soal kekerasan terhadap jurnalis maupun soal regulasi di bidang media. AJI selalu mengajak rekan-rekan jurnalis untuk terus memantau hal ini.

No comments: