Monday, December 27, 2010

Eko Sulistio ‘Spesialis’ Pencari Korban di Wilayah Bencana Alam

Eko, berkaos dan celana merah




Suasana Desa Glagaharjo, Sleman, Yogyakarta yang terkena awan panas dari Gunung Merapi, Kamis larut malam (4/11) lalu, tampak suram dan lengang. Pepohonan dan rumah tertutup abu vulkanik. Pohon-pohon bambu yang ada di pinggir jalan, roboh sehingga menutupi jalan. Dengan sigap, Eko Sulistio turun dari mobilnya, segera memotong dan menyingkirkannya agar mobil rombongan penyelamat dapat lewat.



Setelah berjalan kaki beberapa ratus meter, tim tiba di Dusun Ngancar dan menuju sebuah rumah yang ditengarai ada korbannya. Eko dan timnya segera masuk dari belakang. Seorang korban yang terbakar dengan cepat diambil dan dibawa ke ambulan yang sudah menanti, Minggu (7/11).

Sementara itu, asap sulfatara yang pekat, bergumpal-gumpal keluar dari puncak Gunung Merapi. Hari itu tim evakuasi yang terdiri dari PMI, SAR, Kopassus dan para relawan lainnya berencana mengambil lima korban di dusun itu yang sudah diketahui lokasinya. Namun empat korban sisanya tidak dapat diambil karena berada di lokasi yang tutupan material vulkaniknya masih panas dan membahayakan. Tim evakuasi pun memutuskan melanjutkan pencarian esok pagi. Apalagi tim menerima kabar, awan panas sudah berpotensi muncul lagi.

“Korban yang ditemukan berada di kolong tempat tidur, kemungkinan sedang berusaha menyelamatkan diri,” ujar Eko saat meninggalkan Glagaharjo yang terletak sekira 15 km dari puncak Gunung Merapi. Peluh membasahi tubuh relawan berbadan tegap ini. Setelah melepas maskernya, ia membasuhkan cairan pembersih ke tangannya dan bagian lain dari tubuhnya yang ‘berbau mayat’ akibat kontak dengan korban yang dievakuasinya. Di maskernya terdapat dua bungkus teh celup untuk mengusir bau tidak sedap.

Eko (37 tahun) yang berasal dari Jakarta ini adalah salah satu dari sekian banyak relawan yang rela meninggalkan pekerjaannya dan datang ke Yogyakarta untuk membantu proses evakuasi korban bencana Gunung Merapi. Padahal di Jakarta, ia mempunyai bisnis paintball game yang menawarkan sensasi pertempuran.

Untuk bencana Gunung Merapi ini, ia membawa tim relawan miliknya sendiri yang bernama Spirit dan bergabung dengan tim relawan PKPU. Tim Spirit terdiri dari sembilan orang relawan dan didukung dengan sebuah jip Land Rover long chasis untuk transportasi tetapi juga berfungsi sebagai ambulan.

Bila mengikuti aksinya di lapangan, satu hal yang mengesankan adalah keberanian dan kecepatannya. Ia bersama timnya sudah mengevakuasi korban dari Desa Argomulyo, Jumat sekitar pukul 05.00 pagi. Padahal material vulkanik yang menutupi desa itu sejak Kamis (4/11) larut malam masih panas. Eko menggunakan kayu-kayu dari pepohonan yang roboh untuk berjalan agar sampai di lokasi korban berada. Salah satu relawan PKPU yang menjalankan misi bersamanya, kakinya terbakar karena terperosok ke material vulkanik yang masih panas itu.

Jumat siang, saat situasi tidak menentu karena kemungkinan awan panas akan meluncur, Eko dan timnya kembali menunjukkan keberaniannya lagi. Mereka masuk kembali ke Desa Argomulyo untuk mengambil korban lagi. “Kita aman karena dipandu tim yang terus memantau situasi Gunung Merapi,” ujarnya meyakinkan saya yang akan mengikuti misinya itu. Proses evakuasi pun dilakukan dengan cepat. Hasilnya, seorang korban lagi berhasil dievakuasi dan tim kecil ini segera melesat ke RS Dr Sardjito.

Perannya dalam melakukan evakuasi korban di wilayah Kabupaten Sleman cukup penting. Aksinya itu sering tertangkap kamera wartawan televisi. “You are a brave man,” ujar Almudena Ariza Nunez, seorang reporter Televisi E dari Spanyol yang sempat mengikuti aksinya.

Berkat keberanian dan kecepatannya, dalam dua belas hari sejak datang ke Yogyakarta 27 November lalu, Eko sudah mengevakuasi sekira 15 korban. Dalam bencana Gunung Merapi, kecepatan mengevakuasi korban sangat diperlukan. Sebab jika terlalu lama, korban akan segera remuk-redam terbakar material vulkanik sehingga proses identifikasi makin sulit dilakukan.

Misi Eko di Yogyakarta ini bukan yang pertama kalinya. Ia terpanggil menjadi relawan di wilayah bencana sejak banjir besar di Jakarta 2002 lalu. Sejak itu ia selalu datang ke wilayah bencana seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di Padang, banjir bandang di Wasior, Papua dan masih banyak lainnya. Spesialisasinya, evakuasi korban. “Kalau memberikan bantuan makanan, banyak orang bisa. Tetapi evakuasi korban, tidak banyak yang bisa melakukannya,” ujarnya memberi alasan.

Dari berbagai wilayah bencana yang pernah didatanginya, bencana Gunung Merapi adalah yang paling bahaya dan menegangkan. Di wilayah bencana lain, pencarian korban dapat dilakukan dengan tenang, tetapi di Gunung Merapi, evakuasi korban dihantui kemungkinan munculnya awan panas. Itu sebabnya proses evakuasi korban memerlukan waktu lama karena mencari ‘celah’ saat awan panas tidak meluncur dari Gunung Merapi yang tingginya sekira 2800 meter itu. Material vulkanik yang panasnya bertahan lama juga menjadi kendala serius dalam mengambil korban.

Sebagai tim relawan kemanusiaan yang independen, Eko mengaku menanggung sendiri seluruh biaya yang dibutuhkan timnya. Padahal misi seperti ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain untuk biaya akomodasi, Eko juga membayar seluruh relawan yang tergabung dalam timnya.

Untung, banyak kawan-kawan kuliahnya dulu yang bersimpati dan siap menggalang dana bagi misi kemanusiaannya. Itu bisa dilihat di facebooknya. Saat di lapangan, sumbangan bisa datang dari siapa saja, termasuk aparat pemerintah. “Kemarin kita dikasih bensin sama polisi,” ujar Eman yang menjadi sopir Tim Spirit.

Kehidupan Eko memang penuh dengan misi kemanusiaan. Di rumahnya, ia mempunyai alat semprot (fogging) dan obatnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk membasmi malaria secara gratis. Ada pula ‘pasukan’ yang membagikan makanan bagi kaum miskin. Selain itu ia dan timnya juga siap melakukan pertolongan korban banjir di Jakarta

“Di sekolah, jika ditanya apa pekerjaan ayahnya, anak saya menjawab bapaknya relawan. Pekerjaannya menolong orang,” ungkap penggemar naik gunung ini yang ditekuninya sejak duduk di bangku SMA itu. Saat menjadi pecinta alam itulah, Eko belajar tentang bagaimana cara melakukan evakuasi.

Apa alasan Eko gemar melakukan misi kemanusiaan? Penggemar Land Rover ini tidak memberikan jawaban pasti. Prinsipnya, sebagai orang yang mempunyai kelebihan, ia harus berbagi dengan orang lain. Ia tidak suka ceramah, tetapi berusaha memberikan contoh dengan tindakan nyata. Itulah pesan yang ingin disampaikannya.

“Saya tidak tahu mengapa. Kalau saya jawab demi kemanusiaan, pasti klise. Yang jelas, dengan melakukan itu, saya bisa hidup tenang, makan enak, tidur nyenyak, itulah yang saya rasakan,” tambahnya lagi.

Hingga kini, masih banyak korban bencana Gunung Merapi yang belum ditemukan. Orang dengan keberanian dan kepedulian seperti Eko masih dibutuhkan di Gunung Merapi yang aktivitas vulkaniknya belum diketahui kapan akan kembali normal. (foto dan teks: Bambang Muryanto)

No comments: