Tuesday, May 31, 2011

Menggugat Jurnalisme Musik di Media Mainstream

Senin malam (30/5), rencana saya untuk berkaraoke dengan kawan-kawan jurnalis gagal. Sebuah ajakan dari jurnalis Media Indonesia untuk diskusi tentang jurnalisme musik di Kedai Kebun begitu menggoda. Jurnalisme musik? Jujur saja ini adalah tema diskusi yang belum pernah saya ikuti. Akhirnya, kami bertiga meluncur ke Kedai Kebun di Jalan Tirtodipuran, sebuah wilayah asri yang saya sukai karena di sepanjang jalan itu penuh dengan rumah-rumah tua yang masih terpelihara dan indah.

Pada awalnya, saya tidak mengetahui siapa yang menjadi pembicara dalam diskusi ini. Kami tiba tepat saat diskusi mulai. Ruangan di lantai satu Kedai Kebun sudah penuh dengan peserta diskusi yang semuanya anak-anak muda. Tak ada lagi kursi yang tersisa bagi kami.

Sang moderator, Arief Nugroho aka Auf mulai membuka diskusi. Ternyata ini adalah sebuah diskusi untuk membedah buku berjudul “Like This”. Buku setebal 438 halaman ini adalah kumpulan tulisan terbaik yang pernah dibuat di situs www.jakartabeat.net (2009-2010), sebuah portal yang menampung tulisan-tulisan soal musik, buku, film dan politik. Melalui diskusi buku ini, mereka membincangkan soal jurnalisme musik dan relevansinya sebagai media kritik sosial.

Moderator memperkenalkan tiga narasumber yang sudah duduk di depan para peserta diskusi. Mereka adalah M. Taufiqurrahman, salah seorang co founder www.jakartabeat.net, yang lahir sejak jJanuari 2009, Risky Summerbee (musisi) dan Wisnumartha (ahli media). Dari tiga narasumber, saya hanya mengenal Wisnumartha, dia adalah dosen jurusan komunikasi, Fisipol UGM, kawan berdiskusi soal jurnalisme.

Sejak dari awal, diskusi ini justru tidak banyak menyinggung buku berjudul “Like This” itu. Auf, sebagai moderator sudah mengarahkan diskusi ini untuk mengkritik jurnalisme musik (penulisan berita soal musik) di media massa mainstream (baca:media komersial). “Tidak ada tulisan soal musik yang mendalam di media-media lokal,” ujarnya.

Dalam presentasinya, Taufiq yang juga pengisi kolom musik di harian The Jakarta Post menjelaskan tulisan soal musik yang bagus tidak mempunyai banyak tempat di media mainstream. Menurut pria yang belajar musik sembari belajar ilmu politik di Chichago, AS (Chichago adalah tempat yang subur bagi munculnya banyak musik) itu reportase media mainstream soal musik justru bias pada produk high art dan tidak memberikan tempat bagi pop culture.

“Media besar justru menunjukkan ini (musik) yang baik dan buruk,” ujarnya. Padahal musik apapun adalah sesuatu yang serius karena melibatkan proses berpikir.

Berangkat dari situasi yang seperti itu, ia kemudian mendirikan www.jakartabeat.net yang menampung tulisan soal musik. Baginya musik bukan hanya soal seni tetapi dapat menjadi medium untuk melakukan kritik sosial.

“Hanya dengan memahami bahwa musik bukan berada di ruang hampa kehidupan manusia sebenarnya kita sudah memberdayakan menulis musik sebagai kritik sosial dan fungsi ini menjadi semakin mudah jika memang musik itu sendiri memiliki kehendak untuk menjadi kritik sosial,” demikian ia menulis dalam makalahnya yang berjudul “Musik dan Riuh-Rendah Menjadi Manusia”.

Taufiq yang malam itu mengenakan kemeja kotak-kotak mengatakan situsnya tak hendak menulis musik dengan sangat serius, seperti dengan menggunakan culture studie sebagai pisau analisanya. Tetapi juga tidak ‘murahan’ dengan menulis siapa menghamili penyanyi ayu, Mulan Jameela yang kondang dengan lagu berjudul Wonder Woman itu. “Saya ingin ada di tengah-tengah,” tandasnya.

Sebagai pembicara selanjutnya, Wisnumartha mengatakan tidak semua media massa mainstream menyajikan tulisan soal musik dengan benar dan bagus. Salah satu pegiat Pusat Kajian Media dan Budaya Populer ini mengatakan, salah satu dari jeleknya tulisan soal musik di media massa karena jurnalisme di Indonesia saat ini sedang mengalami kebangkrutan.

Namun ia menyebutkan salah satu clue untuk menghasilkan reportase yang bagus: jika sang jurnalis juga suka terhadap musik. Apa yang dikatakan Wisnu ini mengingatkan peristiwa ketika saya bersama seorang kawan jurnalis meliput sebuah pertunjukkan musik punk di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) sepuluh tahunan yang lalu. Kawan saya yang biasa meliput seni tradisional ini mengaku tidak mengerti dengan berbagai sajian dan tingkah laku para musisi punk. “Mengapa isinya hanya misuh-misuh (mengumpat) saja. Ra cetho iki (enggak jelas ini),” gugatnya. Saya hanya menjawab dengan senyuman.

Nah jika dia dipaksa untuk menulisnya, mungkinkah muncul sebuah reportase yang bagus? Jawabannya tentu saja tidak. Wisnu mengatakan jika kita dapat menulis sesuai dengan kemampuan kita dan diramu dengan passion yang pas, pasti akan menjadi sebuah tulisan yang menarik.

Risky Summerbee yang mendapat giliran angkat bicara paling akhir mangatakan sebagai musisi, dia merasa kecewa ulasan berbagai media massa. Sebagai manusia tentu ia suka dipuji di media massa. “Tapi tolong tunjukkan jika bagus itu apanya dan kalau jelek juga apanya,” ujarnya.

Sebagai seorang musisi ia memang membutuhkan masukan dari pihak lain. Tetapi itu tidak harus datang dari para jurnalis, bisa siapa saja yang mengerti tentang musik.

Dalam berbagi diskusi soal jurnalisme di Indonesia, kritik tajam hampir pasti tertuju kepada media massa mainstream yang semakin jauh meninggalkan garis ideal sebagai sebuah lembaga kontrol. Dan kualitas jurnalisme musik yang buruk adalah salah satu akibatnya saja. Dalam soal liputan dengan tema lain pun sama saja.

Ada banyak persoalan, mulai dari kualitas jurnalisnya yang payah, ideologi media massa yang dangkal (sekedar hanya jualan berita saja) hingga literasi media dari masyarakat yang masih rendah. Ini ibarat sebuah benang kusut yang rumit untuk diurai.

Tetapi ini bukan alasan untuk pesimistis. Masih terbuka ruang untuk memperbaiki kualitas jurnalisme di Indonesia, minimal jika para jurnalisnya mau terus belajar dan belajar.

Dan forum seperti di Kedai Kebun malam itu adalah salah satu caranya. Sayang, acara ini (mungkin) minim publikasi. Hanya sedikit jurnalis yang datang. Jangan-jangan, mereka tahu tetapi tidak mau datang, ini yang berbahaya. Wacana yang berkembang dalam diskusi itu dapat menjadi masukan yang bagus. Atau bisa juga membeli bukunya, setidaknya dapat menjadi referensi bagaimana menulis yang bagus versi jakartabeat.net. (text: bambang muryanto)

No comments: