Sabtu siang lalu (4/6), sinar matahari bersinar dengan terik, membuat
“Saya ingin sinau soal litigasi dan non litigasi,” ujar Ulum, salah seorang redaktur di Harian Jogja.
Selain membicarakan soal topik di atas, pria Sunda ini juga menyinggung banyak persoalan sekitar jurnalisme di
“Jika tahun 2010 ada 67 kasus, sekarang (hingga Juni 2011) sudah ada 37 kasus,” ujar Hendrayana. Ini artinya, hingga pertengahan tahun 2011, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis sudah lebih dari 50 persen dari tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, pria berkulit putih itu mengingatkan ada kecenderungan tindak kekerasan terhadap jurnalis meningkat pada masa pelaksanaan pemilu di daerah. Biasanya pelakunya adalah para preman pendukung calon pemimpin daerah yang ikut dalam kontestasi politik itu.
Sebuah perkembangan yang memprihatinkan. Kita tentu ingat, tahun lalu terjadi pula pembunuhan terhadap Ridwan salamun, jurnalis SUN TV di Maluku. Ironisnya, pengadilan justru membebaskan terdakwa. Jika demikian, siapa yang menjadi pelakunya?
Sedangkan tahun ini, kawan-kawan AJI Palu dipukuli oleh sekelompok pemuda yang tidak puas atas pemuatan berita kasus kekerasan yang terjadi setelah pemilihan ketua sebuah organisasi pemuda.
Secara garis besar, Hendrayana menjelaskan ada dua jalur dalam melakukan advokasi bagi kasus sengketa pers, yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Sengketa pers adalah sengketa yang muncul akibat pemberitaan di media
Jalur non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Opsi yang dapat digunakan bagi mereka yang tidak puas dengan berita di media
Sementara jalur litigasi ada dua macam yaitu mediasi melalui pengadilan dan mediasi di luar pengadilan. “Dalam memilih mediator, yang harus diperhatikan adalah hakim atau non hakim yang mengetahui persoalan pers,” tandas Hendrayana.
Dalam kesempatan itu, Hendrayana yang kegerahan karena cuaca Yogya yang panas juga memberikan ‘tips’ agar para jurnalis terhindari kasus jeratan hukum. Dalam membuat berita, jurnalis harus melakukan cover bothsides, sumber berita harus jelas dan kredibel, tidak mencampur opini dan fakta, berita dibuat untk kepentingan umum dan jika ada kekeliuran segera meralatnya tanpa harus diminta pihak yang dirugikan.
Apa yang harus dilakukan jurnalis jikan terjerat kasus hukum? Memberitahukannya kepada pemimpin redaksi, buat kronologi kasus, kumpulkan
Bahan-bahan berita yang dipersoalakan (rekaman, data-data sumber berita, berita sama yang dimuat di media
Selain itu, Hendrayana juga menjelaskan apa yang harus dilakukan jurnalis jika dipanggil polisi sebagai saksi:periksa
Saat sesi tanya jawab, ada sekira delapan peserta yang mengajukan pertanyaan atau tanggapan. Sampai-sampai moderator, Mustakim harus ‘menutup’ sesi tanya-jawab karena waktu tidak mengijinkan lagi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Tidak terasa diskusi sudah berlangsung sekira dua jam lebih.
“Silakan dilanjutkan lagi setelah diskusi ini resmi ditutup,” ujar Mustakim.
Usai diskusi, Hendrayana melayani interview dari beberapa kawan jurnalis. Saat malam menjelang, beberapa kawan melanjutkan diskusi di café semesta di bilangan Kota Baru. Tentu saja dengan ditemani hitamnya kopi panas. Semoga kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi lagi. (foto dan teks: bambang muryanto)
No comments:
Post a Comment