Saat mendekati kawasan ekowisata Tangkahan di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, akhir April lalu, para wisatawan yang mau berlibur di kawasan itu tidak dapat meneruskan perjalanan. Sebuah bus besar mogok tepat di tengah jalan karena satu ban depannya teperosok ke dalam lumpur. Tak ada mobil derek di wilayah pedalaman seperti ini. Bagaimana cara menarik bus itu keluar ?
Dari pembicaraan kru bus itu, tahulah kami jika mereka sedang menunggu gajah yang akan menarik bus itu keluar dari lumpur. Tidak lama kemudian, datang dua ekor gajah besar. Dalam hitungan detik, mamalia terbesar di Sumatra itu segera membebaskan bus dari kubangan lumpur yang menjeratnya.
Dua gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) itu bukan tim derek mobil tetapi adalah anggota ‘pasukan gajah’ yang bermarkas di Tangkahan, sebuah kawasan di pinggir Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Jika musim hujan tiba, menarik mobil yang terjebak di dalam lumpur adalah salah satu tugas sosial yang harus dilakukannya. Untung masih ada gajah!
Resminya, ‘pasukan gajah’ itu bernama Criminal Response Unit (CRU) yang diinisiasi sebuah NGO lingkungan bernama Flora and Fauna International (FFI). Menurut Wahdi Azmi dari FFI, CRU adalah program yang memanfaatkan gajah yang hidup di konservasi ex situ (Pusat Pelatihan Gajah) untuk membantu menjaga konservasi gajah yang ada di TNGL (in situ). Hutan di sekitar Tangkahan adalah jalur migrasi gajah yang bergerak dari Sikundur menuju Bahorok, begitu pula sebaliknya.
“Gajah menjadi flagship untuk melakukan konservasi di TNGL,” ujar Wahdi, manajer proyek program konservasi gajah. TNGL seluas 1 juta hektar dan terletak di Propinsi Sumatra Utara dan Aceh ini perlu dijaga keutuhannya. Selain menjadi habitat hidup gajah sumatra, kawasan ini memberikan banyak jasa lingkungan bagi penduduk 9 kabupaten yang ada di sekitarnya.
TNGL yang telah ditetapkan Unesco sebagai cagar biosfer dan bagian dari Tropical Rainforest Herritage of Sumatra ini juga kaya dengan keragaman hayati. Ada sekitar 3500 spesies tumbuhan, 380 jenis burung, 129 mamalia dan 100 jenis reptil. Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), orangutan (Pongo abelii) dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatraensis) yang terancam punah juga hidup di sana.
Mulai beroperasi sejak Desember 2002, CRU Tangkahan terdiri dari enam gajah dewasa dan satu gajah kecil. Kehadirannya dalam turut menjaga TNGL sangat berarti mengingat, “Kami sangat kekurangan tenaga untuk menjaga kawasan konservasi yang luas ini,” ujar Kepala Balai TNGL, Wiratno. Selain di Tangkahan, tim CRU juga ditempatkan di Besitang.
Setiap berpatroli ke hutan, tim CRU Tangkahan terdiri dari 2 atau 3 gajah. Awaknya berjumlah 6 orang. Mereka terdiri dari mahout (pawang gajah), polisi hutan, petugas FFI dan beberapa penduduk lokal dari desa-desa di sekitar Tangkahan. Sedangkan siasa gajah yang ada di base camp digunakan untuk melayani turis yang ingin trekking ke hutan dengan naik gajah.
“Kami sengaja melibatkan orang-orang lokal agar ada kelanjutan upaya konservasi di masa depan,” tegas Wahdi. Secara bergilir, penduduk lokal dilibatkan dalam CRU. Selain bisa belajar cara mengendalikan gajah, mereka juga kian menguasai persoalan konservasi, mengoperasikan GPS (Global Positioning System) dan ekoturisme.
Dalam satu bulan, CRU Tangkahan harus berpatroli di dalam hutan selama tujuh hari.”Satu kali patroli biasa, lamanya sekitar dua hari,” ujar Edi Sunardi, team leader CRU Tangkahan. Namun jika melakukan survey, monitoring biodiversity atau menangani konflik antara satwa dan manusia, mereka akan berada di hutan lebih lama lagi.
Ketika bermalam di hutan, gajah-gajah tim CRU untuk sementara dapat hidup bebas. Gajah-gajah ini dibiarkan bebas bergerak. Jika kebetulan bertemu dengan kawanan gajah liar, mereka akan berbaur.
Menggunakan gajah sebagai kendaraan untuk berpatroli juga lebih efektif jika dibandingkan dengan mobil 4x4. Medan berat seperti tanah berlumpur, sungai berkedalaman 2 meter, jalanan terjal dan rimbunnya hutan dapat dilibas tanpa halangan berarti. Pendek kata, sepanjang masih di wilayah low land, tidak ada tempat yang tidak dapat diakses patroli CRU.
Itulah sebabnya tim CRU dapat masuk jauh ke dalam hutan menghalau para pelaku illegal logging. Pertemuan dengan para pelaku illegal logging ini terutama sering terjadi pada tahun-tahun pertama CRU Tangkahan mulai beroperasi. Jika ini terjadi, tim CRU akan mengajak dialog dan meminta mereka menghentikan kegiatan yang merusak hutan itu.
Namun ada kalanya para perusak hutan itu diproses secara hukum. Jika kesalahannya berat, kasusnya diserahkan kepada aparat hukum yang berwenang. Tetapi kalau masih kecil, para pelakunya diberi sanksi adat.
Tim CRU juga memburu para pemburu binatang. Jebakan-jebakan binatang yang ditemukan akan segera dihancurkan. “Kalau kami menemukan orang yang meracun ikan di sungai, kami minta membuat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi,” ujar Wahdi.
Berdasarkan pengalamannya, Edi mengatakan tantangan berat patroli di hutan adalah bila terlibat konflik, misalnya dengan para pelaku illegal logging. Apalagi jika mereka mendapat perlindungan dari orang-orang kuat tertentu. Ketika melihat kedatangan tim CRU, tidak jarang mereka siap melakukan penyerangan. Karena itu, sebelum patroli perlu mendapatkan informasi akurat tentang kegiatan illegal seperti itu sehingga tim CRU dapat menyiapkan diri.
Menurut Wahdi, persoalan berat lainnya adalah pembukaan lahan hutan untuk ditanami kelapa sawit. Ini adalah ancaman serius bagi kelestarian hutan dataran rendah di Sumatra. Wahdi menyebutnya sebagai ‘green monster’. Menghentikan kegiatan ini sulit dilakukan karena pelakunya sudah terlanjur mengeluarkan biaya investasi yang tinggi. “Selain itu mereka juga mempunyai mimpi-mimpi karena hasil dari kelapa sawit sangat menjanjikan,” ujar Wahdi.
Setelah berjalan beberap tahun, sedikit banyak tim CRU dapat menekan angka kasus illegal logging di hutan sekitar Tangkahan. Tetapi Wahdi mengatakan turunnya kasus illegal logging di sekitar Tangkahan juga didukung dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat di sekitar wilayah itu untuk menjaga kelestarian hutan dan memilih ekowisata sebagai mata pencaharian sampingan.
Persoalan untuk menjaga keutuhan TNGL memang sangat rumit. Ada banyak pihak dengan kepentingannya sendiri-sendiri ingin ‘bermain’ di kawasan TNGL. Tetapi setidaknya, ‘pasukan gajah’ ini mampu membuktikan sebagai alat yang efektif untuk menjaga kelestarian TNGL.
No comments:
Post a Comment