Oleh: Bambang MBK
Ini adalah kisah seorang bekas pelaku penebangan liar yang tinggal di pinggir hutan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). “Jika ingat masa lalu, saya merasa berdosa. Setiap satu pohon besar tumbang menyebabkan ratusan mahluk penghuni hutan lainnya mati konyol. Padahal mereka itu juga makluk ciptaan Tuhan,” ujar Okor Sembiring (50 tahun). Setelah menyadari kesalahannya itu, ia berubah 180 derajad. Kini ia adalah pelaku konservasi dan ekowisata di kawasan itu.
Di lingkungan keluarganya, menebang pohon di hutan adalah pekerjaan yang dilakukan secara turun-temurun. Para leluhurnya dan kebanyakan penduduk di desanya juga menebang pohon di hutan yang hasilnya dijual untuk menghidupi keluarga. “Penghasilan saya dari menjual kayu sekitar Rp 50 ribu per hari,” ujar ayah dari tiga anak itu. Waktu itu, penghasilan ini cukup tinggi.
Wilayah operasi Okor adalah kawasan TNGL yang terletak di sekitar tempat tinggalnya, Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Namun nasib ‘sial’ menimpa dirinya. Pada tahun 1986, Okor dicokok aparat keamanan atas laporan temannya sesama pelaku illegal logging yang tertangkap lebih dahulu. Okor yang terbukti bersalah, harus mendekam selama 2 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Binjai.
Selama dipenjara, kekayaan yang dengan mudah dikumpulkan dari penjualan kayu habis untuk menutup biaya hidup keluarganya. Bahkan keluarganya pun harus membayar kepada petugas LP jika ingin sekedar berjumpa dirinya. “Jadi saya seperti bintang film. Siapa yang ingin ketemu saya, harus membayar dulu,” kenang pria berkulit hitam legam itu saat ditemui di Tangkahan, Desa Namo Sialang.
Untunglah, hidup di penjara membawa berkah bagi dirinya. Di sana Okor mendapat ‘pencerahan’ bahwa menebang pohon di kawasan TNGL yang menjadi cagar biosfer dan Tropical Rain Forest Herritage of Sumatra adalah suatu tindakan yang salah. Hutan yang gundul adalah sumber segala bencana bagi masyarakat sekitarnya.
Keluar dari penjara, jalan hidup Okor pun berubah. Tanpa ada yang menyuruh ia mengajak kepada penduduk di desanya untuk berhenti menebang pohon di hutan. Untuk menopang kehidupan keluarganya, Okor sendiri menggantungkan pada hasil panen tanaman di ladangnya.
Kepada penduduk di desanya, Okor mengatakan sudah saatnya berhenti menebang pohon di hutan. “Saya katakan kepada mereka, hutan gundul akan menyebabkan banjir. Jika itu terjadi masyarakat pula yang menjadi korban,” ungkap Okor.
Apa yang dikatakannya memang benar sebab wilayah TNGL memiliki curah hujan tinggi. Di musim hujan, hujan dapat turun sepanjang hari tanpa berhenti. Tanpa ada pepohonan sebagai pelindung, banjir dan tanah longsor dipastikan akan terjadi.
Perjuangannya itu tentu amat berat. Bagi masyarakat di pinggir hutan, pohon-pohon besar di hutan ibarat ‘harta karun’ yang tinggal diambil. Ini adalah jalan pintas untuk mengatasi kemiskinan mereka.
Karena mempunyai pandangan yang berbeda, banyak orang mencibir dirinya. Ia bahkan sempat mendapat ‘sanksi sosial’. Jika datang ke warung kopi untuk bercengkrama dengan sesama penduduk, tidak seorang pun mau menawarinya minum kopi. Tetapi itu semua tidak menyurutkan langkah Okor.
Selain berladang, sejak tahun 1989, Okor juga mempunyai ide merintis ekowisata yang berpusat di Tangkahan. “Saya hanya berpikir jika ada wisata, pasti akan banyak orang datang,” ujarnya singkat.
Bersama beberapa penduduk di desanya yang telah ‘tercerahkan’, Okor mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Ia sendiri duduk sebagai ketua harian. LPT memfasilitasi para turis yang ingin menikmati indahnya hutan tropis dan keragaman hayati di kawasan TNGL. Di sini terdapat sekitar 3500 spesies tumbuhan ratusan burung, 300 burung, 130 mamalia dan 100 reptil.
Berkat bantuan dari banyak pihak, penduduk Namo Sialang berhenti menebang pohon di hutan. Bahkan penduduk desa tetangga, Desa Sei Serdang yang juga melakukan illegal logging mau mengikuti. Mereka melihat keuntungan ekonomis yang didapat dari ekowisata lebih berkelanjutan dari pada menebang pohon.Banyak penduduk mendapat keuntungan dari membuka warung, menyedikan makanan atau menjadi guide.
Wilayah Tangkahan yang semula gundul kini hijau kembali. Pohon-pohon besar bediri tegak, tajuknya tertutup rapat tumbuhan liana. Binatang-binatang liar seperti beruang madu, monyet dan kijang pun mau mendekat lagi sehingga jika beruntung para turis yang datang ke Tangkahan dapat melihatnya.
Seiring dengan pulihnya Tangkahan, wilayah ini menjadi tujuan ekowisata favorit di Sumatra Utara. Menurut Ary Suhandi dari Indecon (Indonesia Ecotourism Network) jumlah wisatawan yang datang ke Tangkahan terus bertambah. Tahun 2005 lalu, jumlah uang yang dibelanjakan turis di Tangkahan mencapai Rp 206 juta.
Perkembangan Tangkahan yang maju pesat ini tentu membuat Okor bahagia.Tetapi yang paling membuatnya gembira, kini anak-anak kecil di Tangkahan pun sudah pandai berbahasa Inggris. Adalah para guide lokal yang mengajari mereka. “Ini sungguh sesuatu yang tidak ternilai harganya,” ungkap bapak berusia 50 tahun itu.
Apa yang dilakukan Okor dan penduduk di desanya dapat menjadi contoh nyata betapa masyarakat yang tinggal di pinggir hutan dapat memperoleh keuntungan ekonomis dari hutan secara berkelanjutan tanpa harus menebang pohonnya. Ada banyak alternatif keuntungan selain kayu.
Dari pengalaman dan pergaulannya dengan para penebang liar, Okor mempunyai resep memberantas penebangan liar tanpa menggunakan aksi kekerasan. Jika bertemu mereka di hutan, Okor tidak melaporkannya kepada polisi sebab hal ini justru membuat mereka dendam dan enggan menghentikan aktivitas penebangan liar.
Okor melihat mereka sebagai teman dan bukan musuh yang harus diberantas. Kepada para pelaku illegal logging itu, Okor akan menasehati baik-baik dan menceritakan pengalaman pribadinya.
“Jika kita membawa polisi atau TNI, persoalannya tidak akan segera selesai. Lihatlah kasus di Besitang,” ujar Okor. Menurut Kepala Balai TNGL, Wiratno, Besitang adalah salah satu kawasan TNGL yang hancur. Luasnya mencapai 20.000 hektar.
Nun jauh di Tangkahan, tidak hanya keindahan alam saja yang dapat kita nikmati. Ada pula pelajaran bagimana hidup secara harmonis dengan alam. Okor dan penduduk di desanya membuktikan sebagai masyarakat yang hidup di pinggir hutan, menebang kayu bukanlah solusi tepat untuk menghadapi tekanan ekonomi yang kian berat.
No comments:
Post a Comment