Oleh: Bambang MBK
Entah sudah berapa kali, Kartika Affandi duduk di pojok barat daya Alun-alun Utara untuk melukis panorama ruang terbuka yang terletak tepat di depan Keraton Yogyakarta itu. Untuk mendapatkan sudut pandang yang artistik, pelukis perempuan terkemuka di
“Tadi ada orang yang mengatakan di tempat ini banyak kotoran kudanya, tetapi ya biarlah,” ujar putri maestro pelukis Affandi itu. Tanpa terusik, ia terus melukis, sesekali minum teh dan makan makanan kecil.
Minggu pagi (18 Desember 2005) itu Kartika bersama puluhan seniman
Walaupun sudah berusia 71, ibu dari delapan anak itu masih bersemangat melukis di luar studio. Padahal beberapa waktu lalu ia sempat tidak sadarkan diri akibat kelelahan melukis.
Seperti biasa, Kartika tidak menggunakan kuas. Ia menggunakan tube cat dan jarinya untuk menorehkan cat akrilik ke atas kanvas. Setelah beberapa jam berlalu, di atas kanvas berukuran 30 X 40 cm, tampak lukisan beraliran eksresionisme yang memvisualkan panorama Alun-alun utara dengan sebuah tenda raksasa tepat ditengahnya. Tenda raksasa itu adalah tempat pertunjukan sirkus keliling yang tengah mengadakan show di Yogyakarta.
Sembari melukis, Kartika secara diplomatis mengatakan kehadirannya pagi itu tidak dalam rangka ‘menyayangkan’ rencana raja dan gubernur
Memang, di sekeliling Alun-alun utara ada sekitar 60 pohon beringin yang berusia puluhan hingga ratusan tahun. Dua diantaranya tumbuh tepat di tengah Alun-alun utara. Kedua pohon beringin ini bernama ringin kurung yang merupakan simbolisasi dari manunggaling kawulo lan gusti atau bersatunya rakyat dan penguasa (raja). Jika lahan parkir bawah tanah itu benar dibangun, kehidupan pohon-pohon beringin itu mungkin terancam sebab akarnya sudah jauh menghujam ke dalam tanah serta merambat kemana-mana.
“Yang pasti, saya tidak bisa membayangkan keraton tanpa alun-alun,” tandas Kartika yang pernah mendapat penghargaan “Gold Medal” dari Academica Italia itu. Mungkin saja Kartika gundah karena ia tahu di Jawa, sebuah keraton pasti menyatu dengan alun-alun. Sebagai seniman Kartika mungkin pula takut kehilangan sebuah tempat publik yang selama ini menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering. Ia sudah tidak ingat berapa lukisan tentang Alun-alun utara yang pernah dibuatnya.
Kesibukannya melukis terhenti sejenak ketika Dian Anggraini yang juga seorang pelukis bersama suaminya datang menghampirinya. Percakapan akrab pun mengalir, mulai dari soal kesehatan badan yang lebih penting dari apa pun, perjalanannya ke
Selama melukis, Kartika yang mengenakan topi dan sepatu berhiaskan bunga-bunga plastik warna-warni itu juga berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Ia sama sekali tidak terganggu dengan orang-orang yang mendekat untuk melihatnya melukis atau bahkan mengobrol. Seorang ibu yang tidak terlalu tua, ikut menemani Kartika melukis. Ia bernama Sri Lestari datang dari Temanggung (Jawa Tengah) dan tinggal di sekitar Alun-alun utara. Kepada Kartika, ibu yang tak jelas pekerjaannya itu mengatakan ia mempunyai seorang anak laki-laki yang masih menganggur.
Kembali nurani Kartika terusik. Kartika pun menawarkan pekerjaan sebagai tukang kebun kepada anak lelaki dari wanita itu. “Suruh datang ke rumah saya di Pakem, Sleman, nanti ongkosnya saya ganti,” ujar Kartika. Saat akan pergi pun, Kartika memberikan selembar uang Rp 50 ribu kepada Sri Lestari.
Seperti ayahnya, Kartika memang suka melukis di luar studio. Usia tidak menjadi penghalang untuk terus menjalankan ‘tradisinya’ dalam menghasilkan sebuah karya lukisan. Walaupun jika hujan atau panas harus memaksanya berhenti, melukis di luar studio mendatangkan kebahagian tersendiri baginya. Dengan cara ini Kartika dapat berkomunikasi dan memahami realitas sosial yang terjadi di masyarakat sekitar.
Kepekaan nurani dan rasa kesenimannya pula yang mendorong Kartika membeli karya seni seorang perempuan dari suatu desa di
Sayang, hujan keburu mengguyur
Sang ayah, Affandi memberinya nama Kartika yang berarti bintang yang bersinar. Maestro seni lukis
No comments:
Post a Comment