Oleh: Bambang MBK
Adakah hubungan antara blangkon, tutup kepala yang digunakan seorang pria saat berpakaian jawa lengkap dengan kewibawaan Kraton Yogyakarta ? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Slamet Raharjo, seorang maestro pembuat blangkon dari Yogyakarta, jawabannya pasti ada. “Nama kraton bisa rusak jika raja dan para bangsawan itu memakai blangkon yang dijual di pasar,” ujar pria berusia 61 tahun itu.
Blangkon karya Slamet bukanlah blangkon ‘murahan’ yang dapat dibeli di Pasar Beringhardjo di pusat kota Yogyakarta. Ia hanya membuat tutup kepala berbahan batik dan berbentuk khas itu berdasarkan pesanan. Hasilnya, blangkon serius: indah karena terbuat dari batik berkualitas, memiliki presisi tinggi sesuai dengan bentuk dan ukuran si pemakai serta nyaman dikenakan. Sang pemakai pun tampak berwibawa dan tampan jika memakai blangkon karya Slamet.
Dengan produk berkualitas tinggi dan berharga ratusan ribu itu, para pemakai blangkon karya Slamet tentulah bukan orang sembarangan. Kerabat Kraton Yogyakarta, termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah salah satu pelanggannya. “Biasanya yang datang membawa pesanan adalah Gusti Herjun,” ujar Slamet saat ditemui di rumahnya di kawasan Bugisan, Yogyakarta.
Siang itu ia tengah duduk santai di ruang tamu rumahnya sambil mengawasi seorang pegawainya yang sibuk membuat blangkon. Ruang tamunya yang tidak begitu besar sekaligus menjadi tempat workshop-nya. “Itu pesanan dari Bandung,” tambah ayah empat anak itu.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga pernah memesan blangkon darinya yang digunakan untuk mantu (upacara pernikahan) anaknya beberapa waktu lalu. Menurut Slamet, Pak SBY memesan 60 blangkon gaya Yogyakarta. “Ukuran kepala Pak SBY, 59. Motif batiknya adalah klithik kemitir jumputan merah,” ujar suami dari Tugiyem itu. Selain itu, mantan Menteri Pendidikan Fuad Hasan, mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah memesan blangkon darinya.
Beberapa gerai batik terkemuka di Yogyakarta juga sering memesan blangkon dari Slamet. “Kalau ada tamu yang menginginkan blangkon bagus, kami sering memesan kepada Pak Slamet, dia adalah yang terbaik,” ujar Heru Purwanto, pegawai bagian kerajinan dari gerai Mirota Batik.
Keberhasilan Slamet menjadi seorang maestro pembuat blangkon memerlukan waktu tidak sebentar dan perjuangan panjang. Ketrampilan yang dimilikinya adalah warisan dari almarhum ayahnya, Notodihardjo yang juga seorang pembuat blangkon. Ayahnya sendiri belajar membuat blangkon dari sahabatnya, Karto Thole, seorang pembuat blangkon yang biasa melayani pesanan dari kerabat Kraton Yogyakarta.
Karena Karto Thole yang juga abdi dalem Kraton Yogyakarta itu sering kebanjiran pesanan, ia minta Notodihardjo untuk membantunya. Ketika Karto Thole meninggal, Notodiharjo pun menjadi ‘pewaris tahta’ yang meneruskan usaha Karto Thole membuat karya blangkon yang serius.
Setiap hari melihat ayahnya membuat blangkon, timbulah rasa keinginan Slamet muda untuk belajar. Waktu itu umurnya baru 27 tahun. Slamet pun mencoba membuat blangkon yang hasilnya selalu diperlihatkan kepada ayahnya untuk dinilai. “Ketika masih belajar, hasilnya saya jual ke pasar,” kenang Slamet yang hanya lulus SD itu. Seiring dengan perjalanan waktu, ketrampilan Slamet pun kian matang.
Slamet mengatakan membuat blangkon sebetulnya tidak sulit. Yang penting adalah tekun, teliti, cerdas dan kuat duduk selama beberapa jam. Ya, sejak dari awal hingga akhir, pembuat blangkon harus duduk. Di depannya ada sebuah alat yang terbuat dari kayu untuk meletakan blangkon, namanya klebut.
Setelah dilipat-lipat dengan pola khusus (dalam bahasa Jawa disebut diwiru), kain batik berukura 115 x 115 cm itu ditempelkan dengan menggunakan lem kanji ke pola dasar blangkon yang terbuat dari kertas karton tebal. Bagian ini akan membentuk hiasan pada keseluruhan tubuh blangkon pada bagian luar.
Selanjutnya hiasan bagian luar ditempelkan dengan cara dijahit ke kerangka blangkon, terbuat dari anyaman daun pandan yang dikeringkan, namanya congkeng. Besar congkeng ini tergantung pada ukuran kepala sang pemesan. “Menjahit adalah bagian yang paling sulit,” ujar Ratijo, satu-satunya pegawai yang bekerja pada Slamet sekarang.
Menjahit blangkon memang memerlukan keahlian khusus. Agar tetap indah, jahitan harus rapi dan tidak terlihat. Ini tidak mudah. Salah satu ujung jari harus ditutup logam keras untuk mendorong jarum jahit agar menembus congkeng dan karton keras yang menjadi pola dasar blangkon.
Dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama 34 tahun itu, Slamet dapat menghidupi keluarganya. Ia dapat menyekolahkan anaknya, tiga diantaranya ke perguruan tinggi. Rumahnya yang semula hanya berdinding anyaman bambu kini sudah bagus. “Tahun 1999 lalu, uang dari pesanan Gus Dur, saya gunakan untuk membuat atap dan lantai rumah,” ujar Slamet. Menurut Slamet, waktu itu Gus Dur memesan 115 blangkon gaya Surakarta.
Dengan kesetiaannya itu, Slamet secara tidak langsung juga ikut serta menjaga kebesaran kebudayaan Jawa. Apa jadinya, jika dalam suatu upacara sakral kebudayaan Jawa, para lelakinya menggunakan blangkon yang tidak berkualitas ? Atau pantaskah para pembesar Kraton Yogyakarta menggunakan blangkon yang tidak berkualitas ?
Perhatiannya yang besar terhadap kebesaran kebudayaan Jawa itu pula yang mendorong Slamet bersikap arif, yaitu mau memberikan ilmunya kepada siapa pun yang ingin belajar membuat blangkon dengan serius. “Kalau ilmu ini tidak saya amalkan kepada orang lain, percuma. Besok bagaimana jadinya jika tidak ada blangkon bagus. Nama kraton bisa rusak jika para bangsawannya menggunakan blangkon yang dijual di pasar,” ulang Slamet.
Slamet sudah mencetak beberapa pembuat blangkon yang hasilnya dapat diandalkan. Tetapi Rujito, seorang pegawai yang masih setia menemaninya adalah sang ‘putra mahkota’. “Dia sudah lengkap menerima ilmu dari saya,” ujar Slamet.
Itulah Slamet Rahardjo. Dia adalah seorang pejuang kebudayaan Jawa yang semangat dan kearifannya patut dihargai.
No comments:
Post a Comment