Oleh: Bambang MBK
Pada Peringatan Hari Anak Nasional 2007 di Aula Rama Sinta Taman Impian Jaya Ancol, Minggu (22/7) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono mendengarkan cerita Dessy Kokorule dari Propinsi Papua tentang sulitnya warga miskin mengakses pendidikan. Pada saat sama, ratusan kilometer dari sana, tepatnya di Nitiprayan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Rendi Hermantio (13 tahun) sedang menjalani takdirnya. Dibawah terik matahari, ia bersemangat membantu bapaknya membuat batu bata untuk membayar hutang sebesar Rp 600 ribu. Uang sebesar itu menjadi salah satu syarat agar ia diterima menjadi murid baru di SMP Negeri 1, Kasihan, Bantul.
Pagi menjelang siang itu, Randi hanya menggunakan celana pendek jeans belel saja. Cucuran peluh tampak membasahi muka dan seluruh tubuhnya. Dengan cangkul, ia mengaduk tanah yang sudah dicampur dengan sedikit tanah liat dan air. Setelah adonan siap, ia memasukkannya ke dalam ember dan membawanya ke tempat datar yang terkena sinar matahari secara langsung.
Di sana ia kemudian menuangkan adonan tanah itu ke dalam cetakan batu bata yang terbuat dari kayu. Dalam cetakan itu, terdapat enam kolom, artinya setiap satu ember adonan tanah dapat digunakan untuk membuat 6 batu bata. Batu bata yang masih lembek itu kemudian dibiarkan beberapa hari hingga kering terpanggang sinar matahari dan selanjutnya dibakar.
Capek? “Ya, lumayan,” ujar Randi singkat sambil menebarkan senyumnya. Sang ayah, Ponidi bercerita membuat batu bata adalah pekerjaan melelahkan. “Bayangkan, ia harus membawa dua ember adonan tanah dari sini ke atas,” ujar Sang ayah yang berdiri di dasar galian tanah. Akibat dari penggalian, permukaan tanah terus menurun, kira-kira sudah sedalam 1,5 meter. Di dasar galian itulah, Randi mengaduk adonan dan membawanya naik ke tempat datar untuk dicetak menjadi batu bata.
Ponidi berkisah, sebenarnya ia tidak tega melihat anak keduanya itu ikut membuat batu bata. “Semula ia sering main ke sini dan melihat saya membuat batu bata. Akhirnya ia menyatakan mau membantu,” ujar Ponidi yang tinggal di Dusun Bekelan, Tirtonirmolo, sekitar 1 km di selatan lokasi pembuatan batu bata. “Anak itu mempunyai kemauan kerja yang kuat.”
Di hari Minggu, Randi membuat batu bata dari pagi hingga sore hari. Diluar hari libur, ia melakukannya sepulang sekolah. Toh, aktivitas hariannya yang berat itu tidak membuatnya kecapekan untuk belajar di malam hari. “Saya masih sempat belajar kok,” ujarnya singkat saat istirahat. Untuk mengganjal perutnya yang lapar, ia makan pisang biji yang diambil dari tegalan di sekitar pembuatan batu bata. “Kalau di sini, apa saja dimakan,” timpal ayahnya sambil terkekeh.
Sambil menghisap rokok tingwe (rokok racikan sendiri), Ponidi bertukar cerita, ia terpaksa meminjam uang Rp 600 ribu dari pemilik lokasi pembuatan batu bata itu untuk membayar uang masuk sekolah Randi di SMP Negeri 1 Kasihan. “Uang itu digunakan untuk membayar seragam, SPP dua bulan dan lain-lainnya,” sambung Randi yang duduk tak jauh dari ayahnya.
Ponidi yang mempunyai tiga anak itu terpaksa meminjam uang karena sebagai buruh lepas yang tidak menentu pekerjaannya, ia tidak mempunyai uang sebanyak itu. Untuk melunasi utang itu, Ponidi bekerja sebagai buruh pembuat batu bata. Oleh sang pemilik lokasi, ia dibayar Rp 60 untuk setiap batu bata yang dicetaknya. Jadi jika Ponidi dan Randi bekerja sama, masing-masing dibayar Rp 30 untuk tiap batu bata yang mereka cetak.
“Saat ini, orang miskin itu sangat kesulitan untuk menyekolahkan anaknya,” ujar Ponidi. Ia ingat, tahun lalu pun ia terpaksa mengutang ketika anak sulungnya yang sekolah di satu Sekolah Tehnik Menengah (STM) di Yogyakarta, naik ke kelas III dan wajib membayar uang daftar ulang sebesar Rp 400 ribu. Bila tidak membayar, artinya mengundurkan diri.
Ia juga mengatakan tidak mampu membayar uang SPP setiap bulan dengan tepat. Pasti menunggak beberapa bulan. Jika sudah demikian, Ponidi selalu berupaya mencari uang untuk membiayai sekolah anaknya yang cukup tinggi itu. Bila sudah mendapat cukup uang atau pinjaman, ia baru melunasinya.
Banyak pemerhati pendidikan mengkritik pemerintah tentang sistem pendidikan di Indonesia yang mahal. Padahal UUD 1945 pasal 31 ayat 2 mengatakan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar (dari SD hingga SMP) dan pemerintah wajib membiayainya. Sedangkan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 11 mengatakan pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Namun kenyataannya, sistem pendidikan tetap mahal dan dibebankan kepada warga. Dampaknya ada proses diskriminasi, hanya mereka yang berkantong tebal saja yang dapat mengakses pendidikan. Guru besar Universitas Negeri Yogyakarta yang juga Ketua Dewan Pendidikan Yogyakarta, Wuryadi mengatakan pemerintah harus menghentikan sistem pendidikan yang mahal ini. Jika tidak dihentikan akan semakin banyak warga miskin yang tidak dapat mengakses pendidikan. “Artinya yang miskin tetap bodoh dan yang bodoh tetap miskin,” tandas Wuryadi.
Wuryadi menegaskan pemerintah harus menggratiskan biaya pendidikan. “Itu adalah kewajiban pemerintah dan hak warga negara untuk mendapatkannya. Konstitusi sudah menjamin itu,” tandasnya. Untuk itu, pemerintah harus mempunyai komitmen mengalokasikan 20% dari Anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan.
Sedangkan Fathuddin Muchtar dari SAMIN (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia), sebuah NGO yang menggeluti isu hak anak mengatakan kebijakan negara yang membuat sistem pendidikan mahal, selain melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan juga berpotensi menyebabkan pelanggaran hak anak lainnya. Untuk kasus Randi itu, sistem pendidikan mahal menyebabkan Randi kehilangan waktu bermain atau belajar karena harus bekerja membantu ayahnya.
“Adalah hak anak untuk bermain,” ujar Fathuddin. Ia juga mengingatkan perkembangan psikologis antara anak yang bekerja dan tidak bekerja (bisa bermain sesuai dengan kodratnya) itu akan berbeda.
Randi adalah salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan anak Indonesia yang harus bekerja untuk melanjutkan pendidikan. Masih terngiang di telinga saya, Ponidi mengatakan sebagai orang miskin ia hanya bisa membekali ilmu dengan cara menyekolahkan anaknya. Tetapi jika biaya pendidikan semakin mahal, sampai kapan ia mampu menjalankan niatnya itu?
Sinar matahari sudah tepat berada di atas bumi khatulistiwa, adzan Dzuhur terdengar sanyup-sanyup. Ponidi dan Randi bersiap pulang ke rumah untuk makan siang. “Nanti jika tidak capek, kita akan membuat batu bata lagi,” ujarnya. Ya, dengan batu bata Randi sedang berjuang mendapatkan pendidikan demi masa depannya. Sebuah perjuangan yang tidak ringan.
No comments:
Post a Comment