Saturday, January 26, 2008

Suroyo, ‘Raja Sepeda’ Gazelle dari Yogyakarta


Oleh: Bambang Muryanto

Setelah pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar hampir 100 persen sejak 1 Oktober lalu, banyak masyarakat yang kembali melirik sepeda sebagai alat transportasi. Tetapi tanpa ada kenaikan harga BBM, sejak dahulu H. Suroyo, seorang pengusaha kerajinan perak di Kotagede, Yogyakarta masih cinta naik sepeda. Bahkan ia mempunyai koleksi belasan sepeda kuno merek Gazelle buatan tahun 1950 hingga 1960 yang salah satu diantaranya berharga Rp 75 juta.

Sejak muda, Suroyo yang kini berusia 56 tahun itu memang suka bersepeda. Dahulu, bapaknya yang seorang penjual hasil bumi selalu menggunakan sepeda merek ini untuk alat transportasi. Dari situlah, Suroyo merasakan betapa enaknya naik sepeda merek ini. Sepeda yang mulai diproduksi tahun 1902 di Desa Dieren, Belanda ini memang dikenal sebagai sepeda yang kuat dan enak dikendarai. Menempuh perjalanan jauh dengan sepeda ini juga tidak mudah membuat badan cepat letih.

Itulah sebabnya Gazelle dianggap sebagai ‘Marecedes Benz’-nya sepeda. Tidak heran jika sejak dahulu harganya sudah cukup mahal. Konon harganya selalu mengikuti standar emas. Pada tahun 1950-an harga sebuah Gazelle baru setara dengan harga 2 ons emas. “Pada tahun 1968, ada orang yang mau menukar sebuah sepeda Gazelle seri 10 kami dengan sebuah motor Honda,” ungkap Suroyo yang berbadan tegap dan sehat itu.

Pada tahun 1970-an saat kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII) Suroyo juga tidak naik sepeda motor. Ia tetap menggunakan sepeda berlambang kijang sedang berlari itu. “Saya tidak lelah,” kenang pemilik gerai Sus’s Silver itu. Padahal jarak antara kampus UII dan rumahnya yang saat itu masih di Prambanan cukup jauh, sekitar 18 km.

Setelah berhasil meraih gelar sarjana, Suroyo berkarir di instansi Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Tahun 1980-an, karena alasan pribadi, ia memutuskan pensiun dini dan kembali ke Yogyakarta. Di kota asalnya ini, ia bertemu kembali dengan sepeda Gazelle seri 9 yang pernah menemaninya selama kuliah dulu.

Pertemuan dengan ‘sahabat lamanya’ itu ternyata menumbuhkan keinginan Suroyo untuk mengkoleksi sepeda Gazelle. Perburuan pun dimulai. Tidak mudah untuk mendapatkan sebuah sepeda Gazelle lama karena barang ini mulai langka. Perlahan, namanya mulai dikenal diantara kolektor sepeda. Banyak informasi tentang sepeda Gazelle yang akan dijual masuk ke telinganya. Koleksinya pun terus bertambah.

Suroyo pernah membeli 5 buah Gazelle seri 11 sekaligus dari seseorang yang butuh uang untuk pergi haji. Di Bandung, Suroyo berhasil menemukan sepeda Gazelle yang 95 persen masih baru pada pertengahan tahun 1990-an. Konon sepeda yang dibodinya masih menempel stiker pajak sepeda bertahun 1950 ini jarang digunakan dan hanya tersimpan di gudang.

Tentu saja Suroyo gembira bukan kepalang. Barang ini sangat istimewa karena semua bagiannya masih orisinil. Garis kuning di tubuh sepeda dan cap merk Gazelle pada bagian bodi bawah sadel masih utuh. “Ini yang membuat sebuah Gazelle harganya mahal,” tandas peraih gelar S2 jurusan Transportasi dari ITB itu. Waktu itu, ia rela mengeluarkan uang sebesar Rp 30 juta untuk memiliki sepeda istimewa ini.

Di antara koleksinya, sepeda inilah yang menjadi ‘primadona’. Kini harga sepeda yang dirancang untuk perempuan itu mencapai Rp 75 juta. Tidak mudah membujuk Suroyo agar memperlihatkan koleksi sepeda termahalnya itu. Sepeda ini ibarat ‘mahkota’ yang mengukuhkannya sebagai ‘raja sepeda’ Gazelle. “Yang satu ini, tidak akan saya jual.,” tambahnya. Menurutnya, dalam jangka waktu 10 tahun belum tentu ia dapat menemukan Gazelle dengan kualitas seperti itu.

Dari perburuannya itu, koleksi sepedanyanya sempat mencapai 39 buah. Saat ikut memeriahkan Festival Kesenian Yogyakarta I, Suroyo pernah membuat geger Yogyakarta. Waktu itu, ia dan 15 pegawainya konvoi naik sepeda Gazelle semua. “Orang-orang pada heran, bagaimana caranya mengumpulkan sepeda Gazelle sebanyak ini,” ungkap Suroyo.

Tetapi karena hobinya ini juga menjadi bisnis sampingan, bapak dari dua anak ini juga menjual sepeda koleksinya kepada sesama kolektor atau orang yang sekedar ingin memiliki sepeda Gazzelle. Beberapa pejabat baik di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya pernah membeli sepeda darinya.

Kini, koleksi sepedanya tingal 15 buah. Paling murah berharga sekitar Rp 15 juta. Memang tidak murah, pasalnya sepeda-sepeda koleksi Suroyo itu kebanyakan masih orisinal semuanya seperti lampu, sadel, pedal, ban dan lain-lainnya. Semuanya dapat digunakan karena Suroyo dengan dibantu beberapa pegawainya yang merawat semua sepeda buatan Willem dan Hendrik Kolling itu.

Sebagian koleksi sepedanya disimpan di dalam gudang kecil di rumahnya. Bagi mereka yang sempat melihat koleksi speda Suroyo pasti akan terkejut karena sepada-sepeda itu bercampur dengan harta Suroyo lainnya yaitu koleksi lukisan. Jelas bukan lukisan murah karena ada lukisan karya pelukis Indonesia di masa lalu yang cukup terkenal seperti Indra Gunawan dan Trubus. Ada pula lukisan karya Walter Spice dan masih banyak lainnya. Suroyo memang seorang kolektor lukisan.

Selain berburu sepeda Gazelle, Suroyo juga mengumpulkan berbagai onderdil Gazelle yang orisinal. Meskipun hanya onderdil sepeda, jangan dikira harganya murah. Sebuah sadel (tempat duduk) orisinil yang sudah bulukan masih bisa menembus Rp 2 juta. Sedangkan sepasang ban luar orisinal berwarna putih --- sudah tidak diproduksi lagi --- juga berharga Rp 2 juta.

Sebagai seorang ‘raja sepeda’ Gazelle, Suroyo tentu masih setia naik sepeda favoritnya itu. “Sehabis Subuh, saya selalu naik sepeda keliling kota selama satu jam,” ujar pria yang ramah itu. Kadang-kadang bersama teman-temannya pecinta Gazelle, mereka juga malakukan touring ke Pantai Parangtritis yang berjarak sekitar 30 kilometer.

Kehidupan Suroyo memang tidak bisa dilepaskan dari sepeda Gazelle. Baginya, sepeda tidak sekedar alat transportasi biasa. Sepeda selalu mengingatkannya pada proses perjalanan hidupnya sejak belum menjadi apa-apa hingga menjadi pengusaha yang cukup sukses. Ternyata menjadi orang sukses itu harus melalui proses dan tidak dapat dicapai secara ‘instan’, begitulah hikmah kehidupan yang ia petik.

No comments: