Oleh: Bambang MBK
Dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Kantor Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB) sejak siang hingga sore hari, pria bertubuh gempal dan berkulit hitam itu benar-benar menjadi ‘magnet’. Banyak kaum muda mau datang untuk mendengar apa yang dikatakannya. Sambil terus menghisap rokok Marlboro dan Djie Sam Soe, pria itu banyak bercerita tentang pengalaman pahit para anggota keluarga dari orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pria kelahiran Moskow tahun 1959 itu adalah Ilham Aidit, anak bungsu dari DN Aidit, seorang tokoh PKI yang dibunuh penguasa politik Indonesia tidak lama setelah peristiwa 30 September 1965. “Saya tidak akan bicara soal politik, orang selalu berpikir jika anggota partai bicara, pasti ada tendensi lain. Dan saya tidak seperti itu,” ujarnya saat mulai berbicara dalam diskusi yang berlangsung Senin (28/1). “Lebih baik, saya sharing soal hak-hak korban saja.”
Sebelum diskusi berlangsung, para peserta diskusi menyaksikan film dokumenter berjudul “Tumbuh Dalam Badai” karya IGP Wiranegara yang dibawa Ilham. Aktor utama film ini adalah anak-anak dari keluarga yang terlibat PKI di masa lalu. Secara ringkas film ini menuturkan walaupun rezim Orde Baru meminggirkan dan ‘melindas’ anggota keluarga dari orang tua yang “di-PKI-kan” (keluarga dari korban tragedi 1965) tetapi mereka tetap dapat berguna bagi masyarakat.
Misalnya adalah Bondan Nusantara, seorang tokoh seniman kethoprak di Yogyakarta. Karena ayahnya dianggap PKI, ia dikeluarkan dari sekolah. Tapi akhirnya Bondan bisa memberikan sesuatu kepada masyarakat luas melalui dunia seni tradisional kethoprak yang digelutinya. Bahkan ia juga mengharumkan nama Indonesia melalui pentas seni kethoprak yang digelar di luar negeri.
Selain itu, juga ada pembunuhan sistematis terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia). Jumlahnya mungkin ada jutaan. Ilham mengatakan aksi pembunuhan paling dasyat terjadi di Pulau Bali. “Satu dari 16 orang Bali dibunuh waktu itu,” ujar pria yang kini aktif di Partai Buruh pimpinan Muchtar Pakpahan itu.
Bagi Ilham, perlakuan rezim Orde Baru sebagai penguasa negara waktu itu terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI dan diskriminasi terhadap keluarganya tidak dapat dibiarkan. Belum ada proses pengadilan yang menyatakan mereka bersalah, tetapi mereka sudah menjalani hukumannya. Ilham juga mempertanyakan mengapa para anggota keluarga yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI juga harus menanggung akibatnya?
Hingga saat ini penyelesaian atau rekonsiliasi dengan korban tragedi 1965 masih belum jelas.Undang-undang tentang rekonsiliasi belum kunjung selesai juga. Padahal di masa lalu negara telah membuat kekeliruan besar dengan membasmi suatu kelompok secara sistematis.
“Kami tidak dendam, tapi persoalan itu harus diselesaikan secara bermartabat,” tegas Ilham. Menurutnya cara untuk ini sangat sederhana, cukup ada Keputusan Presiden (Kepres) yang menyatakan negara melakukan kesalahan di masa lalu. “Itu tidak ada ongkosnya,” tambah Ilham yang terus merokok itu.
Ia mencontohkan Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang sudah minta maaf atas apa yang dilakukan kaum Nahdliyin kepada mereka yang dianggap PKI pada tahun 1965. Ilham mengatakan luka itu sembuh begitu Gus Dur meminta maaf.
Dalam suatu kesempatan ketika ia bertemu dengan Gus Dur, mantan presiden itu mengatakan kepada dirinya agar terus bicara untuk menyelesaikan persoalan sejarah yang belum tuntas itu. “Jangan LSM,” saran Gus Dur.
Sampai detik ini, Ilham masih terus bicara. Salah satu mediumnya adalah pembuatan film tentang testimoni keluarga dari korban peristiwa 1965. Setidaknya film ini akan menjadi dokumentasi bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Film-film yang konon menelan ongkos produksi sekira Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per buah ini diharapkan bisa menjadi bahan jika ada investigasi di masa depan.
Yuli Eko Nugroho dari PSB yang ikut dalam diskusi itu melontarkan pertanyaan mengapa ada kecenderungan film-film tentang testimoni korban itu kesannya cengeng dan cenderung meratapi masa lalu yang terjadi?
“Ya, karena peristiwanya sangat luar biasa,” tandas Ilham. Bagi korban, perlakuan yang luar biasa itu ada yang ‘menggoyang’ keyakinannya sehingga berubah pendirian: korban menjadi percaya apa yang dilakukannya di masa lalu adalah sebuah aib. Dalam waktu yang sama, negara juga membuat ingatan –menurut versinya—tentang peristiwa 1965 yang kemudian dilanggengkan.
Dari pengalamannya membuat film testimoni ini, Ilham juga menemui ada korban peristiwa 1965 yang tidak mau menceritakan pengalaman siksaan yang mereka alami kepada anggota keluarganya. Ada beberapa alasan, pertama korban yakin kegiatan di masa lalunya adalah sebuah ‘aib’ dan kedua pengalamnnya ini akan membuat anak keturunannya marah dan kemudian ‘bergerak’. Jika yang terakhir ini terjadi, maka negara bisa ‘menghentikan’ mereka. “Ini yang ditakutkan mereka,” ujar Ilham yang berkulit gelap itu.
Ilham untuk kesekian kalinya menyulut rokok baru. Di hadapannya sebuah aspak sudah penuh dengan belasan puntung rokok.
Ia mempunyai harapan dengan penyelesaian berbagai persoalan di masa lalu, peristiwa yang sama tidak akan diulang di masa depan. Sebuah tawaran bijak yang tidak ada salahnya didengar dan dipertimbangkan oleh para penguasa politik negeri ini.
1 comment:
Mas Mbk yg baik, aku request dong...di publish liputan soal perusakan Kantor LOS yg terjadi belum lama ini.Thanks!!!!
Post a Comment