Oleh: Masduki MSi
PERINGATAN hari anak nasional baru saja berlalu. Peringatan yang rutin dilakukan setiap tahun ini selain merupakan kesempatan bagi media untuk memperoleh obyek liputan juga semestinya menjadi momentum evaluasi kinerja media itu sendiri terhadap isu-isu anak. Masih hangat dibenak kita ketika pada bulan November 2006 gugatan dan tuntutan beruntun datang ke sebuah TV swasta agar menghentikan tayangan "Smack Down", sejenis olah raga gulat yang menyuguhkan adegan saling pukul dan tindih an tar dua laki-Iaki bertubuh kekar dipandu seorang wasit, disaksikan ribuan penonton persis seperti pertandingan tinju profesional. Tayangan yang nyaris setiap malam muncul ini diduga kuat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, baik pelakunya anak-anak itu sendiri maupun orang dewasa. Contoh paling tragis adalah kematian seorang anak SD di Jawa Barat dan seorang anak SD lain di Jogja mengalami patah tulang.
PERINGATAN hari anak nasional baru saja berlalu. Peringatan yang rutin dilakukan setiap tahun ini selain merupakan kesempatan bagi media untuk memperoleh obyek liputan juga semestinya menjadi momentum evaluasi kinerja media itu sendiri terhadap isu-isu anak. Masih hangat dibenak kita ketika pada bulan November 2006 gugatan dan tuntutan beruntun datang ke sebuah TV swasta agar menghentikan tayangan "Smack Down", sejenis olah raga gulat yang menyuguhkan adegan saling pukul dan tindih an tar dua laki-Iaki bertubuh kekar dipandu seorang wasit, disaksikan ribuan penonton persis seperti pertandingan tinju profesional. Tayangan yang nyaris setiap malam muncul ini diduga kuat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, baik pelakunya anak-anak itu sendiri maupun orang dewasa. Contoh paling tragis adalah kematian seorang anak SD di Jawa Barat dan seorang anak SD lain di Jogja mengalami patah tulang.
Tayangan yang seharusnya untuk orang dewasa ini dinilai tidak mendidik, tidak difilter secara tegas sehingga diduga ditiru mentah-mentah oleh anak-anak. Berangkat dari kasus ini, penulis mencoba mengajak pembaca mencermati konteks yang lebih luas, yaitu bagaimana selama ini media massa memperlakukan anak -anak melalui beragam suguhan acara khususnya informasi aktual. Permasalahan Smackdown sesungguhnya ibarat permukaan dari sebuah gunung es persoalan yang masih dihadapi mediaketika memperlakukan anak sebagai obyek penonton, pembaca dan pendengar.
Di luar soal keharusan menghentikan tayangan ini, pemberitaan media soal kontroversi Smackdown juga menarik dicermati, terutama ketika menempatkan anak beserta isu yang dialami mereka sebagai subyek berita. Lebih khusus lagi bagaimana media menempatkan posisi anak perempuan vis a vis anak laki-Iaki dalam kaitannya dengan perlakuan lingkungan sosial seperti rumah dan sekolah. Apa yang terjadi pada Smackdown adalah klimaks saja dari peristiwa lain pada dunia anak di sekolah dan di rumah yang masih menyimpan misteri dalam konteks kesetaraan gender.
Komnas Perlindungan Anak (PA) seperti dikutip Ahmad Setiaji, wartawan Pikiran Rakyat mencatat, selama 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perIakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak sebanyak 130 kasus. Demikian pula hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 provinsi dan nasional tahun 2005 mengungkapkan bahwa penganiayaan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, baik di sekolah, rumah, di institusi masyarakat dan negara.
Selain itu, terdapat 3 juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya. Setidaknya 30 persen dari para pekerja seks perempuan di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia 10 tahun dipaksa terlibat dalam pelacuran. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan unak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri.
Sekitar 4.000 hingga 5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga rehabilitasi dan penjara. Sebanyak 84 persen dari anak-anak yang dihukum ini ditahan bersama para penjahat dewasa. Sekitar 80 persen lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, tingkat huniannya melebihi kapasitas atau hunian lapas mencapai 40 persen di atas kapasitas yang tersedia. Berbagai persoalan serius ini ternyata masih minim diliput oleh media. Media kurang optimal "menyentuh" dunia anak-anak. Banyak kasus yang berkaitan dengan anak-anak disoroti pers melulu dari sisi human interest-nya, tanpa ada usaha yang optimal mengangkat jati diri anak-anak terutama bagaimana seharusnya pilihan kebijakan yang ramah terhadap anak.
Dalam workshop peliputan jurnalistik untuk anak yang digelar UNICEF dan AJI Indonesia di Bandung, November 2006, wartawan senior harian Kompas Elly Roosita mengakui, Kompas sangat minim memberitakan isu anak, khususnya yang terkait dengan kekerasan terhadap anak dalam perspektif gender. Pemberitaan soal gender memang dominan tetapi lebih makro, yaitu soal perempuan dalam lingkup yang luas. Sebetulnya isu itu bisa dirinci dan akan lebih tajam jika fokus ke soal anak perempuan. Isu anak perempuan yang "tidak seksi" dituding sebagai biangnya. Benarkah? Apabila harian Kompas masih memiliki persoalan demikian, apakah harian besar lain baik yang terbit di Jakarta atau di luar Jakarta juga demikian?
Persoalan yang berkaitan dengan hak anak dan perlakuan yang setara antara anak laki-Iaki dan perempuan tidak hanya menjadi beban ketika yang bersangkutan masih kecil dan berada di lingkungan sekolah dasar. Tetapi dalam jangka panjang akan menjadi beban sepanjang hayat terutama ketika sang anak tetap hidup dalam lingkaran keluarga penganut budaya patriarkhal. Media saat membedah berbagai persoalan krusial pada anak terutama Smakdown tidak cukup jeli karena hanya melibat kasus tersebut sebagai problem kekerasan, baik perilaku, akibat maupun sangsi yang muncul.
Ketika ada ratusan anak-anak yang sibuk menjadi pemulung di tempattempat pembuangan sampah akhir, media cenderung hanya mengekspos sisi kehidupan sehari-hari. Melupakan sisi hak-haknya untuk meraih kehidupan yang normal di masa kini maupun mendatang, haknya untuk hidup sehat, haknya meraih perlindungan keamanan, haknya rnengenyam pendidikan, haknya menunaikan amaliah keagamaan, dan hak-hak lainnya yang bersifat rohani. Dalam kasus pemberitaan Smackdown, ketika meliput bentuk-bentuk sangsi yang akhirnya diberikan sekolah pasca kasus kematian siswa SD akibat bermain, media tidak mempersoalkan bagaimana sistem persekolahan dan bentuk sangsi yang justru mengakibatkan anak akan pasif, takut, bukan kreatif.
Tatkala menghadapi kasus-kasus anak di lokasi pengungsian, acapkali berita yang diangkatnya sebagai pemberitaan sebatas kehidupan anak-anak tersebut. Jarang berita yang secara cermat menyoroti aspek interaksi dan kesenjangan komunikasi serta pelecehan eksistensi anak-anak. Bila menjumpai banyaknya kasus anak kurang gizi di lokasi pengungsian, media kerapkali jarang menyoroti pertanggungjawaban pihak-pihak yang terkait dengan kesejehtaraan dan kesehatan anak-anak. Persoalan yang terkait anak perempuan, ketika tampil dalam pemberitaan di media tidak hanya minim secara kuantitas, tetapi juga sangat memprihatinkan secara kualitas. Para peserta dalam pelatihan tersebut ketika dimintai komentar soal berita anak di media massa menulis dengan beragam istilah, mulai UNFAIR, komoditas, kekerasan, eksploitasi, miris, kasihan hingga diskriminasi gender. Intinya menyedihkan dan memerlukan perbaikan segera. Media yang ramah anak, terutama anak perempuan m,enjadi urgen dikembangkan, baik di sekolah maupun di rumah.
Pemahaman terhadap persoalan riil dalam dunia anak di Indonesia pada berbagai lapisan harus rnenjadi modal dasar yang dimiliki para wartawan. Tidakhanya wartawan lapangan tetapi para redaktur yang kerapkali hanya berfungsi mengedit naskah berita sehingga kerapkali mengedit juga isu yang justru krusial. Menurut para wartawan yang bertugas di lapangan dan seing membuat bertita dunia anak, justru para redaktur ini ibarat raja tersendiri dalam mengolah berita. ***
Pernah dimuat di harian Bernas Jogja, 26 Juli 2007
No comments:
Post a Comment