Oleh: Fathuddin Muchtar
“Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah maupun swasta, pengadilan, pejabat-pejabat pemerintah maupun badan-badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. (pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak)”
Sampai hari ini, perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Walaupun pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan membuat beberapa perundangan yang berkaitan dengan hak anak, tetapi prakteknya tetap memperlihatkan minimnya penghormatan (respect) dan perlindungan (protect) aparat negara terhadap hak-hak anak.
Namun upaya-upaya mendorong pemerintah ke arah penanganan yang lebih baik tetap harus dilakukan semua pihak. Dalam soal AKH, kepolisian sebagai penyidik perlu didorong dan dituntut agar perilakunya lebih ramah terhadap anak. Proses penyidikan di kepolisian menentukan apakah AKH akan diproses pada tingkat selanjutnya atau tidak.
Dalam beberapa kali pertemuan anatar penulis dengan penyidik, pengetahuan dan pemahaman mereka tentang hak anak masih sangat kurang. Mereka kebanyakan belum pernah membaca Konvensi Hak Anak. Hanya KUHAP yang menjadi pegangan utama dalam menyidik AKH dan sedikit mengadopsi UU. No. 3 tahun 1997 khususnya tentang masa penahanan dan perlunya Litmas dari Bapas. Bisa ditebak, dalam menangani AKH penyidik cenderung menyamakan perlakuannya dengan tersangka dewasa.
Pemeriksaan terhadap AKH
Di dalam UU. No. 3/1997 penyidik yang menangani AKH adalah penyidik yang memiliki SKEP Penyidik Anak. Di samping itu harus memenuhi syarat sebagai berikut; berpengalaman menyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Meskipun UU mengamanatkan demikian, sampai saat ini penyidik yang memiliki SKEP Penyidik Anak masih sangat minim.
Maksud persyaratan ini agar penanganan AKH betul-betul memperhatikan kepentingan anak. Anak-anak yang menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pasti mengalami ketakutan luar biasa. Ketakutan ini akan diperparah jika perlakuan yang diberikan penyidik tidak berbeda ketika menangani tersangka dewasa.
Di kalangan penyidik, seorang tersangka dewasa cenderung ditempatkan sebagai residivis kambuhan. Ini juga terjadi dengan tersangka anak-anak. Kalau mencermati pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan penyidik, stigmatisasi itu sangat kuat. Pertanyaan-pertanyaan penyidik selalu mengarahkan tersangka untuk mengakui bahwa ini bukan perbuatan pertama kali. Bahkan masih terjadi praktek pemaksaan terhadap anak untuk mengakui sesuatu yang dikehendaki penyidik. Misalnya pengakuan di bawah ini:
“...sebenarnya saya hanya mengambil uang Rp1 juta, tapi dipaksa polisi untuk mengakui bahwa uang yang saya ambil sebanyak Rp 4 juta. Saya sudah bilang juga ke BAPAS, tapi dia bilang sudahlah karena sudah diketik polisi di dalam BAP. Kata Bapas jika saya tidak mengakuinya itu akan mempersulit nanti di pengadilan (SY-klien SAMIN)”
Dalam UU disebutkan penyidik wajib memeriksa tersangka dengan suasana kekeluargaan. Pada waktu pemeriksaan, anak didampingi orangtua atau keluarga serta sebisa mungkin menghadirkan penasehat hukum.
Sejatinya, perlakuan tidak ramah terhadap anak, apalagi penyiksaan tidak perlu terjadi.
Penahanan Selalu Dilakukan
Pada sebuah pelatihan penyidik anak yang dilakukan SAMIN, diawal acara dilontarkan dua pertanyaan kepada 20 orang peserta dan harus dijawab dengan cepat. Pertama, jika seorang anak melakukan tindak pidana, apakah anak itu harus ditahan? Kedua, jika anak mereka melakukan tindak pidana, apakah setuju jika ditahan?. Untuk jawaban yang pertama 16 orang mengatakan setuju dan hanya 3 orang yang tidak setuju. Sebaliknya untuk jawaban yang kedua, 16 orang tidak setuju dan hanya 2 orang yang setuju.
Gambaran di atas memperlihatkan kontradiksi penanganan AKH di tingkat penyidik. Perlu tidaknya seorang ditahan bukan didasari penghormatan terhadap hak tersangka (anak), tetapi lebih pada kedekatan fisik dan kekerabatan. Penahanan seolah-olah menjadi kewajiban penyidik, padahal di dalam KUHAP, seseorang tersangka tidak selalu harus ditahan, kecuali pada situasi tertentu yang mengharuskan adanya penahanan.
Penahanan anak merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) sebagaimana tertuang di Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak. Di sana disebutkan penangkapan, penahanan dan atau pemidanaan penjara bagi anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir dan sesingkat-singkatnya. Jika penahanan dilakukan, penyidik wajib memisahkan anak dari tahanan dewasa dan tetap memenuhi hak-hak anak.
Pada setiap surat perintah penahanan yang disampaikan penyidik, umumnya perintah penahanan didasarkan pada tiga alasan. Pertama, dikhawatirkan akan melarikan diri. Kedua, akan menghilangkan barang bukti dan ketiga dikhawatirkan akan mengulangi lagi tindak pidana. Tiga alasan ini menjadi alasan umum yang berdasar pada KUHAP pasal 21 ayat 1. Kenyataannya, penangguhan penahanan terhadap AKH menjadi sangat sulit, meskipun ada jaminan dari pengacara dan orangtua.
Penahanan bagi anak juga mengakibatkan cidera fisik, psikis dan sosial bagi. Cidera fisik terjadi akibat penganiyaan oleh sesama tahanan karena tahanan anak dicampur dengan tahanan dewasa. Anak-anak sering menjadi objek kekerasan fisik dan bahkan kekerasan sesksual. Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak-anak gampang tertular penyakit dari tahanan lain.
Kedua, cidera psikis. Penahanan membuat anak-anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis. Sementara cidera sosial ketika mereka sulit diterima masyarakat. Masyarakat akan mengucilkan dan menstigma anak sebagai orang jahat dan perlu dijauhi.
Kewenangan Diskresi
Walaupun penanganan AKH di tingkat kepolisian belum sensitif terhadap hak anak, sebenarnya pada tataran kebijakan institusi sudah mengalami kemajuan. Hanya saja penyebaran kebijakan ini tidak sampai pada tingkat pelaksana di lapangan.
Penulis mencatat beberapa hal, antara lain; tahun 2004, Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF menyusun Manual Pelatihan untuk Polisi – Penanganan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Yang kedua tahun 2006, Kapolri mengeluarkan perintah kepada seluruh kapolda melalui TR No. Pol. 1124/XI/2006, tentang penanganan AKH di tingkat penyidik. Kapolri memerintahkan agar dalam menangani AKH, penyidik mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak dan sebisa mungkin menjauhkan anak dari proses hukum formal. Trakhir instruksi lisan yang disampaikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto di Surabaya, 10 November 2007. Pada forum itu, Kapolri mengatakan “Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba terutama anak-anak, jangan diperlakukan sebagai tersangka. Mereka lebh layak disebut korban,” kata Kapolri yang juga ketua Badan Narkotika Nasional (BNN).[1]
Beberapa hal di atas itu menunjukkan institusi kepolisian telah membuat sedikit langkah maju dibanding kejaksaan dan pengadilan. Meskipun kepolisian belum mensosialisasikannya sampai pada tingkat paling bawah secara maksimal. Akibatnya kebanyakan AKH tetap menjalani proses hukum formal.
Retributive Justice System
Harus diakui sistem hukum di Indonesia masih bersifat balas dendam. Ini terlihat dari seluruh muatan KUHP yang menekankan adanya hukuman fisik berupa kurungan maupun pemenjaraan (pencabutan kemerdekaan/kebebasan bergerak) terhadap pelaku kejahatan. Konsep balas dendam ini terdapat dalam sistem hukum retributive justice system dimana salah satu tujuannya, pelaku kejahatan harus diberi hukuman sebagai balasan atas tindakan yang dilakukannya. Diharapkan hukuman badan akan membuat pelaku jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.[2]
Namun kenyataannya, penerapan sistem ini tidak mampu mengurangi angka kriminalitas. Bahkan akibat getolnya aparat penegak hukum memenjarakan para pelaku tindak pidana membuat rutan dan lapas over kapasitas sebesar 45% dari kapasitas seharusnya.[3] Cerita tentang napi yang harus berdesak-desakan di dalam kamar sempit, kurangnya pelayanan kesehatan serta tawuran antar napi menjadi hal biasa saja bagi aparat negara. Padahal hal-hal seperti itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak ketika menjadi tahanan atau narapidana dengan keadaan seperti di atas. Masa depan mereka menjadi tidak jelas dan hak-haknya tercerabut. Bahkan yang lebih fatal, penjara (meskipun berganti nama lembaga pemasyarakatan) menjadi “sekolah” untuk mendapatkan berbagai macam ilmu kejahatan dari sesama tahanan atau narapidana dewasa. Simak beberapa pengakuan anak yang pernah dipidana penjara berikut ini:
“...buka gembok yang terkunci gampang mas, bisa dalam hitungan detik. Saya sudah bisa melakukannya. Di dalam penjara saya diajari sesama narapidana...(pengakuan JN-klien SAMIN)”
Pengakuan di atas memperlihatkan selama mereka“dibina” (salah satu alasan yang sering dikemukan hakim dalam memutus perkara anak) ternyata tidak dilakukan secara semestinya. Di dalam lapas, dibina dapat berarti lebih mahir melakukan tindak pidana setelah bebas. Juga bisa berarti perkenalan dengan kebiasaan dan moralitas baru yang belum mereka kenal. Seperti pengakuan salah seorang bapak yang anaknya pernah dipenjara:
“...semenjak anak saya keluar dari lapas, saya jadi khawatir. Dulunya dia tidak merokok, sekarang sudah jadi perokok. Dulunya tidak pernah keluar malam, sekarang sering pergi dan berkumpul dengan teman-temannya sampai larut malam. Saya sangat khawatir jika dia terjerumus lagi melakukan tindak pidana...(Ayah AD-klien SAMIN)”
Restorative Justice System
Dalam penanganan AKH, konsep restorative justice system menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan mengoreksi perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Seperti yang disebutkan dalam KHA pasal 40 ayat 3 huruf a “bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan hak-hak asasi dan kaidah-kaidah hukum tetap dihormati sepenuhnya.”
Dari pengalaman selama mendampingi AKH, ada banyak anak-anak yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak mengetahui resiko hukum dari perbuatan yang dilakukannya.
“...saya habis dari rumah teman dan pulangnya jalan kaki. Saya melihat di halaman rumah ada sepeda yang diparkir dan tidak dikunci. Saya lalu mengambilnya dan mengendarai sampai ke kost. Rencananya akan saya kembalikan lagi, tapi takut ketahuan sama yang punya. Makanya saya jual saja. Saya tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Saya malu sama orang tua...(pengakuan JN-klien SAMIN)”
Atau faktor solidaritas sesama teman, agar tetap bisa ikut dan diterima di dalam kelompok mereka:
“...malam itu kami berkumpul dengan teman-teman satu kelas. Terus si A lalu mengajak jalan keluar. Lalu salah seorang diantara kami mengajak membongkar toko handphoen. Karena rasa solidaritas, maka saya juga ikut. Kami lalu memasuki toko itu dengan jalan memanjat dan mengambil jam dinding dan mouse komputer. Sebenarnya ada beberapa barang yang berharga tapi karena niatnya memang tidak mau mencuri, maka barang-barang yang kami ambil hanya yang kecil-kecil saja...”(pengakuan IJ, IL dan DI-klien SAMIN)
Cerita-cerita di atas memberikan gambaran kepada kita,kecendrungan anak-anak melakukan sebuah tindak pidana tidak serta-merta didasari motif tindak pidana. Di sana ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti pergaulan, solidaritas teman, keluarga yang tidak harmonis dan tidak faham resiko hukum yang akan dihadapinya. Koreksi dan pembelajaran bagi anak lebih penting dan baik bagi anak daripada hukuman badan yang berakibat buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan fisik anak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ada kesesuaian antara tujuan pemidanaan, realitas penanganan di rutan dan lapas, serta motivasi anak melakukan tindak pidana? Berikut perbedaan antara retributive dan restorative justice system [4]:
| Retributive | Restorative |
Focus | Offence | Relationships |
Reaction | Punishment | Reparation |
Objective | Deterrence | Restoration |
Victim’s position | Secondary | Central |
Social context | Authoritarian | Democratic |
Child’s reaction | Anger | Responsibility |
Kesimpulan
Dari tulisan singkat di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil. Pertama, sudah saatnya negara merubah sistem pemidanaan yang sekedar bertujuan balas dendam kepada pelaku tindak pidana, khususnya terhadap kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku (AKH). Restorative justice system mendesak untuk diberlakukan karena bertujuan menyembuhkan penyimpangan yang dilakukan pelaku tindak pidana. Kedua, penanganan AKH masih sangat jauh dari standar penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dan HAM. Terakhir, perlu mendorong kepolisian lebih sensitif terhadap anak, apalagi secara internal kepolisian sudah melakukan terobosan-terobosan baru yang berkaitan dengan AKH, hanya saja sosialisasinya tidak sampai pada tataran para pelaksana. Kepolisian memiliki peluang lebih besar menghindarkan anak-anak dari proses hukum formal ke non formal. Pengalihan hukuman akan memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar dan bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan.
[1] http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_berita&id=1026&mn=6&smn=a
[2] Lihat di dalam PEMIDANAAN, PIDANA DAN TINDAKAN dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, ELSAM Jakarta. Di dalam tulisan ini dipaparkan berbagai macam pandangan tentang tujuan pemidanaan.
[3] http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-detail.php?.g=news&.s=berita&.e=1163
[4] Dikutip dengan sedikit perubahan dari www.restorativejustice.org
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Restorasi, Edisi 9/VolumeIV, 2008
No comments:
Post a Comment