Tuesday, March 18, 2008

Refleksi AJI Yogya: Satu Tahun Bergelut dengan Isu Gempa Bumi

Oleh: Bambang MBK

Tanggal 27 Mei 2006, pukul 05.50. Seperti biasa, saya masih tergeletak di atas ranjang. Posisi badan saya kebetulan mepet tembok kamar. Saya sudah terjaga namun mata masih terpejam. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara gemuruh, bumi pun bergunjang, mula-mula pelan namun kemudian keras. Butiran batu dari tembok yang retak menjatuhi muka. Saya pun segera sadar: Ini gempa!

Sontak saya melompat dari tempat tidur, keluar dari kamar dan mengangkat anak bungsu saya yang masih tidur di ruang tengah. Saya dan istri bergerak cepat keluar rumah namun saat melewati ruang tamu sempat terhalang almari buku yang tiba-tiba roboh. Dari rumah bagian belakang, terdengar suara berdebam keras, ada bagian tembok yang runtuh dan menimpa perabotan dapur.

Kami bertiga dapat segera keluar dari rumah karena pintu sudah terbuka. Saat berada di luar rumah, gempa masih menggoyang. Saya tatap si mbak – pembantu di rumah – yang berpegangan tembok pagar tampak bergerak naik-turun. Ia sudah berada di halaman rumah untuk menyapu halaman.

Sungguh sangat surprise, baru pertama kali ini saya mengalami gempa bumi yang sangat kuat. Ketika bumi berhenti bergoyang, kami pun berbincang-bincang dengan beberapa tetangga. Di wilayah kami, Nitipuran, Kasihan, Bantul tidak ada rumah yang runtuh. Saya berpikir, gempa bumi yang barusan berlalu tidak mengakibatkan kerusakan yang serius.

Namun beberapa saat kemudian, ada seorang tetangga mengatakan ada rumah di wilayah Kadipiro, Bantul roboh. Insting jurnalistik saya bereaksi. Tanpa melihat kondisi rumah saya sendiri, saya ambil kamera dan segera menuju wilayah Kadipiro. Karena masih ketakutan istri dan anak saya yang masih berumur 6 tahun minta ikut.

Ya, beberapa rumah di wilayah Kadipiro memang runtuh. Kemudian saya memutuskan bergerak ke barat. Tiba di Pasar Serangan, saya agak terperanjat! Bagian depan pasar itu sudah runtuh dan menimpa belasan sepada motor yang parkir di depan pasar. Semuanya rusak parah. Beberapa saat, saya berada di sana untuk mengambil gambar.

Tergoda mengetahui akibat gempa bumi itu lebih lanjut, saya meneruskan perjalanan ke timur. Saat tiba di PKU Muhammadiyah, barulah saya sadar jika gempa bumi beberapa menit lalu itu ternyata serius. Arus lalu lintas di depan rumah sakit macet. Banyak mobil berdatangan dan parkir di jalan, mereka mengangkut para korban gempa bumi. Suara lengkingan sirene ambulans terdengar tanpa henti. Suasana begitu kacau!

Satu per satu para korban gempa bumi itu dipapah keluar dari mobil dan dibawa ke dalam untuk dirawat. Suasana bertambah kacau karena halaman depan rumah sakit sudah dipenuhi pasien yang sengaja dikeluarkan dari bangunan untuk menghindari seandainya terjadi gempa bumi lagi.

Mayoritas korban gempa bumi yang dibawa ke PKU Muhammadiyah adalah orang tua yang mengalami patah tulang. Banyak juga yang luka-luka, ada seorang ibu yang dari kepalanya mengucur darah segar membasahi mukanya. Ada pula, korban yang terpaksa harus dibawa ke rumah sakit lain. Pasien ini adalah seorang lelaki yang patah tulang kakinya. Dugaan saya, pasti PKU Muhammadiyah sudah over load.

Kamera pun saya arahkan untuk merekam peristiwa itu. Sungguh meyayat hati suasananya. Hati ini tertegun, ketika lensa kamera saya merekam para pasien yang terpaksa dibaringkan di atas trotoar di depan rumah sakit. Seorang nenek tua renta duduk di sana menahan sakit.

Tidak terasa, memori di kamera digital saya sudah penuh. Saya pun kembali. Saat akan naik motor, istri saya mengatakan Mutiara, anak saya yang berumur 6 tahun itu menangis ketika melihat korban gempa bumi yang dibawa ke PKU Muhammadiyah. Ada perasaan bersalah di hati saya, ya seharusnya dia tidak boleh melihat semua itu. Tetapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi.

Kami kemudian berjalan ke selatan, mencoba mencari tahu wilayah mana yang mengalami kerusakan parah. Saat menyusuri jalan di selatan perempatan Patangpuluhan, kami kaget dari arah selatan muncul ribuan motor yang bergerak ke utara. Mereka menggunakan dua badan jalan. Terdengar teriakan mereka, “Tsunami, tsunami!”

Saya memutuskan kembali ke utara, terlalu berbahaya jika tetap ke selatan, bisa jadi kami ditabrak motor-motor lain yang bergerak “kesetanan” ke arah utara. Istri dan anak saya pun panik, si kecil menangis. Saya mencoba meyakinkan, tsunami tidak mungkin terjadi karena jarak pantai sangat jauh dan ketinggian kota Yogyakarta di atas 100 meter di atas permukaan laut. Tetapi tidak berhasil, histeria massa lebih mempengaruhi mereka!

Di jalan, beberapa kecelakaan lalu-lintas terjadi. Tetapi saya terus memacu motor menuju rumah. Setiba di rumah, motor saya serahkan kepada istri saya yang masih saja ketakutan. Ia, Mutiara dan mbak yang membantu di rumah pun saya persilakan bergerak ke utara untuk menyelamatkan diri. “Hati-hati, lalu lintas sangat kacau,” begitulah pesan saya.

Saya kemudian tinggal di rumah. Berdiri di depan rumah bersama beberapa tetangga, menyaksikan kepanikan massa yang lewat di depan rumah. Sungguh mengerikan melihat massa yang begitu panik! Bagi saya, ini lebih mengerikan dari pada saat gempa terjadi. Dari radio milik tetangga di depan rumah, saya tahu tsunami itu hanya isu belaka. Kejadian ini menjadi bukti betapa msayarkat kita tidak siap dengan bencana.

Dari radio pula, entah dari stasion apa, saya dengar wilayah Kabupaten Bantul adalah yang paling banyak mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Siang itu, saya dan seorang teman menuju Bantul. Tujuan kami adalah rumah seorang teman di Bawuran, Plered. Di sepanjang jalan, ribuan rumah penduduk sudah rata dengan tanah.

Di Bawuran, kondisinya tidak jauh berbeda. Hampir semua bangunan di sana roboh ‘mencium’ tanah. Kamera digital saya kembali beraksi merekam suasana di sana. Saya berjumpa dengan sorang bapak, yang masuk ke dalam reruntuhan rumahnya, mencari sisa uang dan pakain yang masih bisa diambil. “Untuk bekal di pengungsian,” ujarnya singkat.

Saya pun menjelajahi Bawuran untuk menyaksikan betapa dasyatnya pengaruh gempa yang berlangsung beberapa puluh detik itu. Masjid megah seharga Rp 2 milyar yang ada di sana pun rusak berat!

Saat kaki ini berdiri di atas puing-puing reruntuhan rumah, teman dari Bawuran, Gigin mengatakan di bawah reruntuhan yang saya injak itu terdapat seorang ibu dan anaknya yang tentu saja sudah tewas. Pertolongan memang tidak dapat segera dilakukan karena semunya mengalami musibah dan mengurus dirinya masing-masing.

Sore itu, hujan rintik-rintik membasahi Bawuran. Matahari yang masih bersinar menyebabkan munculnya pelangi di timur desa. Indah, tetapi terasa membeku saat di sekeliling saya berdiri, suasana muram akibat bencana masih begitu lekat.

Saat matahari menghilang di ufuk barat, kami memutuskan pulang. Malam itu, kami sekeluarga dan seorang teman dari Jepang yang tinggal di Bantul tidur di halaman rumah kami. Ya, malam itu kami semua tidak ada berani yang tinggal di dalam rumah.

Pagi hari, dari media massa, kami semua menjadi semakin yakin jika gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah berkekuatan 5,9 Scala Richter. Meskipun belum ada angka pasti, media massa memberitakan jika ada ratusan ribu rumah runtuh dan ribuan warga tewas akibat gempa itu.

Siang hari, kami di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta segera menggelar rapat darurat. Keputusannya, kami akan membuat posko yang tujuannya untuk memberikan bantuan bagi para jurnalis di Yogyakarta yang menjadi korban gempa. Sebagai sebuah organisasi profesi jurnalis, AJI mempunyai kewajiban moral membantu semua jurnalis yang menjadi korban gempa. Posko ini dijalankan dibawah komando Mustakim, reporter Kantor Berita Radio 68H.

Langkah pertama adalah mengumpulkan data siapa saja jurnalis di Yogyakarta yang menjadi korban gempa. Dari informasi sesama teman jurnalis dan survey di lapangan kami menemukan ada sekitar 60 jurnalis yang layak mendapat bantuan. Tidak ada yang kehilanggan anggotanya, hanya saja rumah mereka mengalami kerusakan mulai dari yang ringan hingga rusak parah.

Sementara survey dijalankan, teman-teman AJI dari seluruh Indonesia juga mengirimkan bantuannya. AJI Indonesia juga membantu dengan cara menggalang dana dari jurnalis internasional. AJI Yogyakarta, selain menggunakan dananya sendiri juga mencari bantuan logistik dan obat-obatan dari NGO lokal di Yogyakarta.

Semua bantuan itu kemudian kami salurkan kepada seluruh jurnalis baik yang anggota AJI maupun yang bergabung dengan organisasi profesi lainnya. Kami baru menyadari betapa mengurusi aktivitas posko ternyata sangat menguras energi. Sementara itu, kita semua juga masih harus bekerja untuk membuat berita bagi media massa masing-masing. Karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), AJI Yogyakarta terpaksa juga meminta bantuan beberapa mahasiswa sebagai volunter.

Belakangan, AJI Yogyakarta juga mendapat bantuan dari Free Voice, sebuah NGO media yang berkedudukan di Belanda. Ketika berkunjung ke Yogyakarta, Victor dari Free Voice menanyakan kepada kami, apa yang kami butuhkan. Kepada dia, saya katakan AJI Yogyakarta ingin memberikan bantuan alat kerja bagi para jurnalis korban gempa. Alasannya dengan alat kerja baru, diharapkan para jurnalis korban gempa itu dapat semakin produktif bekerja sehingga mampu membangun kembali rumahnya secara mandiri. Free Voice akhirnya menyetujui.

Akhirnya Free Voice memberikan bantuan dana sekitar Rp 50 juta. AJI Yogyakarta pun kembali melakukan survei, menanyakan kepada jurnalis korban gempa, peralatan apa yang mereka butuhkan. Hasilnya, terkumpul sekitar 40 jurnalis yang membutuhkan peralatan seperti komputer, kamera digital, MP 4, jaket lapangan dan kamera. Dana dari Free Voice kemudian kita belanjakan untuk memenuhi keperluan semua teman jurnalis itu.

Setelah Posko berjalan beberapa minggu, ada masukan dari teman pengurus AJI Indonesia yang menyarankan mengapa AJI Yogyakarta tidak memberikan informasi kepada masyarakat korban gempa di pedesaan. “Mereka jelas sangat membutuhkan,” ujar teman bernama Eko ‘Item’ Maryadi ini saat mengunjungi AJI Yogyakarta.

Apa yang dilontarkan Item memang benar. Beberapa minggu sesudah gempa, media massa sibuk dengan ‘berita-berita besar’ seperti analisis ilmiah kejadian gempa, melaporkan suasana kerusakan di berbagai desa dan kisah haru para korban bencana. Padahal, kondisi riel di lapangan, masyarakat membutuhkan berbagai informasi sebagai panduan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Dengan menggunakan uang sendiri, Posko AJI Yogyakarta kemudian membuat papan informasi yang ditempatkan di 4 dusun, yaitu Samen (Bambanglipuro), Suren Wetan (Jetis) Pranti dan Jonggrangan (Pundong). Setiap satu minggu sekali, tim Papan Informasi AJI Yogyakarta memberikan informasi-informasi yang berguna bagi masyarakat, seperti bagaimana hidup sehat di tenda, memasang sambungan listrik secara benar, cara membuat rumah tahan gempa, pentingnya kaum ibu tetap memberikan ASI kepada bayinya, cara membuat proposal, informasi NGO yang memberikan bantuan dan masih banyak lainnya.

Papan informasi sederhana ini ternyata mendapat respon bagus dari masyarakat. Terbukti ada 22 dusun yang sempat mengajukan permohonan agar diberi papan informasi. Sayang, AJI Yogyakarta tidak dapat memenuhi permintaan ini karena kami kekurangan dana dan SDM. Setelah berlangsung sekitar 6 bulan, AJI Yogyakarta terpaksa menghentikan program ini karena kehabisan dana.

Untuk meningkatkan ketajaman para jurnalis dalam membuat berita seputar gempa, AJI Yogyakarta juga mengadakan diskusi satu bulan sekali dengan mengundang para jurnalis sebagai peserta. Dalam diskusi itu, kami mengundang beberapa nara sumber yang berkompeten di bidangnya untuk memberikan masukan kepada para jurnalis, tentang aspek apa yang perlu diangkat ke media massa. Salah satu nara sumber yang sempat kita undang untuk bicara adalah Direktur UN OCHA, Puji Pujiono.

Dari diskusi internal di AJI Yogyakarta, kita juga melihat pentingnya sebuah media alternatif khusus untuk meliput persoalan seputar gempa. Bencana dasyat dalam skala luas ini pasti menimbulkan banyak persoalan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang penyelesaiannya memerlukan waktu panjang. Sementara itu, berdasarkan pengalaman, media komersial tidak akan mampu mengawal semua persoalan ini secara inten dan terus-menerus. Media komersial akan meninggalkan persoalan seputar gempa manakala muncul isu baru yang lebih marketable.

Akhirnya, media online menjadi pilihan. Mengapa? Berhadapan dengan dana yang cekak, media ini terhitung paling murah ongkos produksinya. Konsekwensinya, media ini menjadi elitis dan tidak bisa diakses masyarakat kebanyakan. Namun sejak semula target audiens dari media ini adalah kelompok strategis di midle level seperti aktivis NGO, para jurnalis, kaum intelektual, mahasiswa dan para birokrat.

Dengan media online yang beralamat di www.mediacenter-ajiyogya.com ini, AJI Yogyakarta ingin menyajikan berbagai persoalan di lapangan kepada para kelompok startegis itu. Harapannya, mereka dapat saling bersinergi untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi para warga korban gempa. Kesannya memang elitis, namun dalam kenyataannya masyarakat (warga korban gempa) memerlukan ‘katalisator’ untuk mengadvokasi persoalan yang mereka hadapi. Buktinya, tidak lama setelah gempa terjadi, warga korban gempa yang menuntut agar negara memberikan bantuan dana rekonstruksi secara merata banyak difasilitasi aktivis NGO dan mahasiswa.

Untuk melengkapi media online itu, AJI Yogyakarta juga mengeluarkan news letter bernama Independen. Rencananya news letter ini akan terbit sebanyak 10 edisi. Setiap edisi berisi suatu topik persoalan yang digarap secara indepth reporting. Edisi perdana mengangkat persoalan hak kaum difabel (menjadi difabel karena gempa bumi) yang ternyata tidak banyak diadvokasi media komersial.

Begitulah, media alternatif yang dijalankan AJI Yogyakarta itu sudah berjalan sekitar 10 bulan. Ada kegagalan, ada pula keberhasilan. Gagal, ketika isu yang kami angkat ternyata tidak mendapat respon positif dari kelompok-kelompok strategis. Salah satunya adalah isu tentang program Kabupaten Bantul mengadakan Pekan Olah Raga Daerah (Porda) yang akan dilaksanakan bulan Juni 2007 ini. Even ini menelan biaya sekitar Rp 6 milyar. Padahal di lapangan masih banyak warga yang belum mendapat jatah dana rekonstruksi. Fasilitas umum di desa-desa juga masih banyak yang rusak dan hingga kini belum tertangani karena belum ada biaya.

Sementara itu, kami merasa puas tatkala isu yang kami angkat ternyata berdampak positif di masyarakat. Salah satu contohnya adalah ketika mengangkat persoalan pemotongan dana rekonstruksi di Dusun Kalangan, Bangunjiwo, Kabupaten Bantul. Ketika mediacenter-ajiyogya meliput persoalan ini dan mewancarai pelaku pemotongan, satu hari kemudian pelaku pemotongan memberikan sisa dana rekonstruksi yang memang menjadi hak korban.

Saat warga mulai melakukan ‘perlawanan’, para pelaku pemotongan (Ketua RT sebab mekanisme pokmas tidak berjalan) mencoba melawan. Mereka justru meminta warga korban yang melakukan protes untuk mengembalikan semua dana rekonstruksi yang sudah diterima. Untung, saat seorang ketua RT datang ke rumah warga yang protes untuk menarik kembali dana rekonstruksi itu, mediacenter-ajiyogya sedang berada di sana.

Namun karena kehadiran mediacenter-ajiyogya, ketua RT itu urung menarik dana rekonstruksi yang sudah diterima seorang warganya yang protes itu. Sedianya ia akan menarik kembali uang sebesar Rp 10 juta dan Rp 15 juta dari warga lainnya yang juga melakukan protes atas aksi pemotongan itu.

Dihadapan ketua RT dan warga yang akan diminta kembali dana rekonstruksinya itu, mediacenter-ajiyogya mengatakan siapa pun tidak berhak mengambil kembali dana rekonstruksi yang sudah diterima warga yang masuk dalam daftar pokmas. Ini mungkin suatu contoh kecil keberhasilan dari mediacenter-ajiyogya. Kadang, media alternatif ini dapat memebrikan bantuan advokasi yang riel bagi masyarakat.

Saat liputan di lapangan, mediacenter-ajiyogya tidak sekedar mencari berita dan kemudian pergi. Tetapi kami mencoba untuk terlibat – bersama-sama dengan teman aktivis di desa itu -- untuk membantu masyarakat mencari jalan keluarnya.Mungkin inilah yang dinamakan jurnalisme advokasi.

Di Pandak, mediacenter-ajiyogya juga sempat berdiskusi dengan warga hingga larut malam. Kami mencoba mencari jalan keluar bagi warga di sana yang tidak mendapat dana rekonstruksi sebagaimana diatur dalam Petunjuk Operasional (PO). Diskusi ini kami lakukan usai wawancara.

Kami tidak ‘berdiri’ di luar, tetapi mencoba untuk melebur, berempati dengan warga korban bencana. Boleh jadi, ada yang menuduh kami tidak independen. Memang, pilihan sudah ditetapkan, kami harus membela warga korban gempa agar memperoleh hak-haknya. Tetapi secara teknis, mediacenter-ajiyogya tetap menyajikan secara obyektif, artinya unsur cover both sides tetap terpenuhi.

Beberapa teman jurnalis juga ada yang menindaklanjuti berita yang kami angkat. Memang itulah salah satu tujuannya. Ibarat main bola voli, kami hanya melemparkan bola ke depan net untuk di-smash oleh pemain lainnya. Apabila direspon teman-teman jurnalis dari media massa mainstream yang mempunyai jangkaun lebih luas, tentu isu yang kami angkat mempunyai ‘daya dobrak’ lebih besar lagi.

Penutup
Bagi kami di AJI Yogyakarta dan mungkin jurnalis lainnya, peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006 lalu adalah suatu pengalaman luar biasa. Bisa dikatakan demikian karena kami sebagai jurnalis tiba-tiba dihadapkan pada suatu persoalan sangat besar. Jujur saja, kami di AJI Yogyakarta belum ada yang mempelajari secara khusus bagaimana menjalankan jurnalisme bencana.

Dengan peristiwa itu, kami pun dipaksa belajar secara langsung, learning by doing. Setelah berdiskusi dan banyak bertanya ke sana- ke mari, lahirlah beberapa program seperti dijelaskan di atas yang khusus didedikasikan untuk warga korban bencana gempa bumi. Awalnya, tentu tidak mudah menjalankannya, sebab di sisi lain AJI Yogyakarta sebagai suatu organisasi profesi jurnalis juga wajib menjalankan humanitarian aid khusus kepada para jurnalis yang juga menjadi korban bencana dasyat itu.

Setelah satu tahun berlalu, dugaan kami di awal pasca gempa bumi sedikit banyak terbukti. Media massa komersial atau mainstream belum maksimal mengawal proses recovery. Mereka masih dengan mudah beralih ke isu lain yang mungkin lebih marketable. Selain itu, para jurnalis dari media massa komersial juga kurang rajin blusukan ke wilayah bencana dan bertemu dengan para korban.

Jika itu mereka lakukan, niscaya ada banyak persoalan yang layak dibuat berita.Tetapi harus diakui pula, kadang-kadang media massa mainstream itu juga membuat liputan soal isu-isu yang dihadapi warga korban bencana secara progresif!

Jika persoalan bencana menjadi agenda setting mereka, media massa mainstream sebetulnya dapat melakukan banyak hal. Mereka mempunyai cukup SDM serta dukungan finansial memadai. Kekuatan mereka untuk menciptakan public opinion sangat besar.

AJI Yogyakarta dengan media centernya mencoba untuk mengisi ruang kosong itu. Tetapi kami dengan sadar mengakui apa yang kami lakukan belum maksimal. Kami kekurangan dukungan SDM dan sumber daya finansial. Sementara itu di lapangan ada ‘segudang’ problema yang membutuhkan advokasi atau kontrol dari media massa. Masih banyak persoalan penting yang luput dari mata kami.

Bila persoalan pemotongan dana rekonstruksi yang marak terjadi di berbagai dusun di Kabupaten Bantul dan kabupaten lainnya menjadi salah satu indikator, mungkin itu berarti media massa belum menjalankan fungsinya secara penuh sebagai suatu alat kontrol. Buktinya, abuse of power masih terjadi.

Dengan penyunatan dana rekonstruksi itu tentu saja membuat warga tidak mampu membangun kembali rumah tahan gempa. Artinya rehabilitasi sebetulnya tidak terjadi. Kondisi masyarakat yang lebih baik, yang tanggap dan tahan terhadap bencana belum terwujud. Padahal seperti dikatakan Puji Pujiono dari UNDP, kondisi seperti inilah yang harus diwujudkan pemerintah pasca terjadinya gempa bumi.

Andai kondisi yang lebih baik dari situasi sebelum gempa bumi tidak terwujud, salah satunya adalah masyarakat yang tetap belum memiliki rumah yang tahan gempa, tentu muncul satu persoalan serius. Sofyan dari Eknas Walhi memperingatkan pemerintah sedang melakukan pembunuhan massal. Mengapa? Jika gempa bumi terjadi lagi di masa depan, ribuan warga akan mati karena keruntuhan rumah tempat tinggalnya.

Itu baru satu persoalan, belum soal lainnya seperti perlindungan anak, hak pendidikan, perlindungan kaum perempuan, hak kaum difabel dan masih banyak lainnya. Sudahkah persoalan ini dipenuhi oleh negara sebagai pemangku kewajiban? Tampaknya masih jauh panggang dari api. Bila warga korban bencana belum mendapatkan semua haknya, secara tidak langsung media massa juga ikut bertanggungjawab. Sebab mereka belum menjalankan fungsi kontrolnya secara optimal. Media massa mainstream dan kami di AJI Yogyakarta harus belajar banyak!

Tulisan ini dimuat dalam buku AB Widyanta (ed) “Kisah Kisruh Di Tanah Gempa: Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006”.

No comments: