Oleh: Bambang MBK
Seperti peluru yang ditembakkan pasukan marinir di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga ‘mengenai’ banyak sasaran. Setelah para kandidat calon presiden, pengurus partai dan anggota DPR, ternyata para jurnalis juga ikut menikmatinya.
Hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Dili Sadili, seorang mantan pegawai di DKP, terungkap sejumlah wartawan dari media elektronik (TV), majalah dan koran telah menerima. Ada seorang jurnalis televisi menerima Rp 56,5 juta. Ada pula jurnalis dari sebuah koran yang menerima Rp 55,5 juta untuk beasiswa sekolah S-2 di Universitas Indonesia. Itu baru sebagian, masih ada wartawan lain yang menerima (Koran Tempo, 12 Juni 2006). Ruarrr biasa!
Dari kasus di atas, satu hal yang menarik untuk dikupas adalah mengapa semasa menjabat sebagai menteri DKP, Rokhmin Damhuri harus membagikan dana itu kepada para wartawan? Apakah para wartawan itu adalah temannya semasa kecil atau saat kuliah? Ataukah sanak saudaranya? Mungkin ada 1001 alasan yang dapat diajukan.
Tetapi yang jelas, ketika Rokhim memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit kepada para jurnalis itu, wajar jika ada yang berpendapat ia sedang mencoba menyuap para jurnalis. Menyuap? Bisa jadi, sebab jurnalis bertugas melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Harapannya, para jurnalis yang menerima dana itu tidak ‘galak’ dalam memantau kinerja DKP saat berada dibawah Rokhim. Sebaliknya, melalui medianya masing-masing, mereka akan melakukan pencitraan postif terhadap kinerja Rokhim.
Untuk membuktikan dana DKP yang diterima para jurnalis itu suap atau bukan, perlu dilihat apakah saat para jurnalis menerima dana itu, beat mereka ada di DKP. Jika benar, perlu diperiksa karya jurnalistik mereka pada masa itu. Bila berisi pencitraan yang positif, kemungkinan besar penyuapan telah membuahkan hasil. Namun jika para jurnalis penerima dana DKP itu beritanya masih kritis, tetap saja penyuapan telah terjadi. Bedanya penyuapan itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan sang penyuap.
Kasus aliran dana DKP yang bermuara pada para jurnalis ini sebetulnya hanyalah puncak gunung es dari persoalan kualitas etika para jurnalis di Indonesia. Di lapangan ada begitu banyak jurnalis yang menerima ‘amplop’ (baca : suap) dari nara sumber yang diberikan usai wawancara khusus, dalam jumpa pers atau saat suatu even digelar. Besaran nominal ‘amplop’ beragam, mulai dari level ribuan hingga puluhan juta rupiah.
Padahal pasal 6, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berlaku bagi seluruh jurnalis di Indonesia dengan tegas mengatakan wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Namun dalam kenyataannya, pasal 6 ini adalah pasal yang banyak sekali dilanggar.
Banyak media massa di Indonesia yang sebetulnya dengan tegas juga melarang para jurnalisnya menerima ‘amplop’. Namun sayangnya, tidak banyak yang menerapkan peraturan ini secara konsisten.
Bentuk suap kepada jurnalis juga semakin canggih. Pemberian ‘amplop’ berujud uang untuk ‘ganti uang bensin’ adalah cara yang paling konvensional dan ‘klasik’.
Seiring dengan perkembangan jaman, bentuk ‘amplop’ telah bermutasi dalam berbagai bentuk dan cara. ‘Amplop’ tidak hanya sekedar uang, tetapi bisa berwujud macam-macam seperti pemberian fasilitas press room yang serba luks, perjalanan wisata, press tour lengkap dengan uang sakunya, pemberian tiket pertunjukkan dan masih banyak lainnya.
Yang lebih canggih lagi, ‘amplop’ dilembagakan dalam bentuk kerja sama resmi antara suatu media massa dengan relasinya baik pemerintah atau non pemerintah. Kerja sama ini dapat berbentuk seperti mengadakan suatu kegiatan bersama, misalnya seperti pertandingan sepak bola atau dalam ikatan untuk memasang iklan. Imbalannya, media massa harus tahu diri, tidak akan menulis secara kritis rekanan yang telah mengajaknya bekerja sama itu.
Bila menyangkut persoalan rekanan kerja, berita yang muncul adalah pencitraan yang positif. Atau jika sang rekanan sedang dirudung persoalan hukum yang terjadi adalah ‘puasa’ untuk tidak memberitakan atau kalau pun memberitakan dibuat sehalus mungkin.
Maraknya pelanggaran etika yang terjadi di kalangan jurnalis dan media massa kita ini sebetulnya sudah mengundang keprihatinan dari banyak pihak. Hanya sebagian kecil, terutama dari jurnalis yang mempunyai integritas atau jurnalis dari media massa besar yang kredibel yang tidak melakukannya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kedua, kesejahteraan jurnalis yang tidak kunjung membaik. Bukan rahasia umum lagi jika jurnalis Indonesia gajinya sangat minim. Celakanya, posisinya yang strategis sebagai ujung tombak kontrol sosial, menyebabkan wartawan menjadi sasaran empuk praktek penyuapan dari para aktor yang seharusnya diawasi para jurnalis.
Persoalan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Masyarakat memerlukan media massa yang sehat – sebagai pilar ke empat -- untuk menciptakan kehidupan sosial yang ideal. Kehadiran media massa diperlukan agar kepentingan masyarakat atau publik tetap terjaga dan tidak dilanggar penguasan politik atau ekonomi.
Untuk penyelesaikan persoalan ini, tentu saja Dewan Pers harus menjadi ujung tombak. Sebab berdasarkan UU No.40/1999 tentang Pers, lembaga ini adalah yang mempunyai otoritas untuk mengawasi persoalan etik dari jurnalis dan media massa. Sayang untuk persoalan pelanggaran etika, Dewan Pers kurang mempunyai gigi. Lembaga ini hanya mampu memberikan rekomendasi sedangkan persoalan punishment diserahkan kepada media massa yang bersangkutan dan organisasi profesi jurnalis.
Mungkin perlu dipikirkan, agar Dewan Pers mempunyai kewenangan yang lebih besar. Misalnya, lembaga ini dapat mencabut ‘lisensi’ kewartawanan dari seseorang jika ia memang terbukti melanggaran kode etik yang berat.
Masyarakat juga jangan segan-segan melakukan kontrol terhadap media massa jika terbukti melanggar kode etik. Sebab, sekali lagi UU No.40/1999 tentang Pers memberikan kemungkinan ini. Hanya saja, kontrol itu tetap dilakukan secara beretika dan secara prinsip tidak melanggar kebebasan pers. Ada banyak cara mulai dari yang ringan dengan cara memberikan masukan hingga ke level yang ekstrim, yaitu stop berlangganan, melihat atau mendengarkan media massa itu.
Para pemilik media massa juga mempunyai peran besar untuk mengembalikan para jurnalis dan medianya agar kembali ke jalan yang benar. Pemilik modal harus sadar bisnis media bukan sekedar bisnis biasa. Dalam bisnis media massa, uang tidak bisa menjadi segalanya sebab sejak dari awal kelahirannya, media massa mengemban civic duty, yaitu sebagai alat kontrol kekuasaan.
Selain itu, pemilik modal juga harus mensejahterakan jurnalisnya. Para jurnalis sendiri juga harus berjuang untuk meraih hal ini. Sebab hanya jurnalis yang sejahteralah yang dapat membuat berita yang bagus dan dapat memberikan suatu pencerahan kepada masyarakat.
Produk berita yang seperti inilah yang pada gilirannya dapat meningkatkan oplah atau rating. Sejarah media massa sudah membuktikan hal ini. The New York Time, menjadi koran paling bergengsi dan beroplah tinggi di Amerika Serikat karena secara sadar dibangun untuk menjadi media massa yang kritis dan beretika (Ignatius Haryanto, 2006).
Begitu pula dengan Liputan 6 dari SCTV. Beritanya yang ‘berani’ menyebabkan program berita dari stasiun ini memiliki rating tinggi dan mengalahkan produk berita dari stasiun televisi yang kelahirannya mendahului SCTV. Pada masa menjelang kejatuhan Soeharto, kita tentu ingat sebuah dialog dalam Liputan 6 dimana Sarwono Kusumaatmaja melontarkan istilah ‘cabut gigi’ (baca: meminta supaya Soeharto mundur) dinilai sangat berani.
Dua contoh ini dapat menjadi contoh, betapa idealisme media massa sebagai alat kontrol dan komersialisme dapat berjalan seiring sejalan. Media massa yang komersial tidak lantas beritanya hanya untuk menyenangkan para relasinya. Frank Miller Jr, seorang jurnalis senior pernah mengatakan,”Begitu anda mulai menulis untuk menyenangkan setiap orang, anda tidak lagi berada dalam dunia jurnalisme. Anda berada dalam dunia pertunjukkan.”
Pernah dimuat di harian Bernas Jogja, 12 Juli 2007
No comments:
Post a Comment