Monday, March 17, 2008

“Lampu Kuning” Bagi Kebebasan Pers di Indonesia

Oleh:Bambang MBK

Majelis Mahkamah Agung (MA) dengan ketuanya German Hoerdiarto dan anggota Muhammad Taufiq dan Bahauddin Qaudry akhirnya memenangkan gugatan mantan Presiden Indonesia, Soeharto terhadap majalah Time Asia edisi 24 Mei 1999, volume 153, nomor 20 dengan cover gambar Soeharto sedang tersenyum. Laporan utamanya yang berjudul “Soeharto Inc” itu mengangakat kasus korupsi mantan orang nomer satu di Indonesia itu. Majelis MA berpendapat dalam pemberitaannya itu, Time melampaui kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati sehingga mencemarkan nama Soeharto.

Karena itu, tergugat diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 1 trilyun serta meminta maaf di sejumlah media cetak nasional dan luar negeri. Padahal UU No.40/1999 sudah menyediakan mekanisme sederhana jika persoalan ini terjadi. Soeharto dapat menggunakan hak jawab atau hak koreksi jika ada kesalahan dalam pemberitaan Time itu. Mengutip ahli hukum media massa, Hinca Panjaitan, “kata-kata sudah sepantasnya dibalas dengan kata-kata.”

Untuk menyelesaikan persoalan hukum yang timbul akibat pemberitaan media massa, MA kelihatannya masih belum konsisten. Dalam kasus Tempo vs Tommy Winata, MA memenangkan Tempo tetapi dalam kasus terakhir justru memenangkan Soeharto.

Padahal untuk kasus hukum akibat dari pemberitaan media massa, MA sebetulnya sudah mempunyai suatu ‘keyakinan’. Melalui keputusan MA No.1608 K/PID/2005 dan MA No.903 K/PDT 2005, lembaga ini berkeyakinan jika ada persoalan hukum yang berkaitan dengan pemberitaan media massa maka UU Pers harus didahulukan. Penggunaan hak jawab dan pemeriksaan oleh Dewan Pers harus menjadi prioritas utama sebelum proses hukum. MA juga mengakui kebebasan pers prasyarat poko bagi sistem politik yang demokratis.

Namun dalam kasus Time vs Soeharto mengapa keputusan ini tidak dilaksanakan? Padahal hasil liputan Time itu ada kemungkinan mengandung kebenaran, sebab Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) saat meluncurkan program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) menempatkan Soeharto pada urutan pertama pencuri aset negara, besarannya antara US$ 15 milyar –US$ 35 milyar. Seharusnya, hasil liputan Time itu bisa menjadi alat bantu bagi aparat penegak hukum Indonesia untuk melacak harta jarahan itu.

Bagi dunia pers di Indonesia, keputusan MA ini sungguh merupakan suatu berita yang menyedihkan. Lagi-lagi ini membuktikan jika UU Pers No.40/1999 belum menjadi aturan hukum yang lex specialis. MA jelas tidak menggunakan UU Pers No.40/1999 tetapi menggunakan KUHP, sebuah produk hukum tinggalan penguasa kolonial. Buktinya, MA mengharuskan pihak Time Asia membayar ganti rugi sebesar Rp 1 trilyun dan meminta maaf di sejumlah media massa. Bentuk hukuman seperti ini tidak dikenal dalam UU Pers kita.

Maka tidak salah jika kuasa hukum Time Asia, Todung Mulya Lubis mengatakan keputusan MA ini adalah lampu kuning bagi kebebasan pers di Indonesia. Ini adalah sebuah peringatan. Jika keputusan MA ini menjadi jurisprudensi, maka ada peluang media massa di Indonesia yang dituduh mencemarkan nama baik seseorang juga akan mengalami nasib sama. Tidak perlu Rp 1 trilyun, hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp 5 atau 10 milyar saja sudah cukup membuat media massa lokal gulung tikar. Ini artinya sama dengan breidel!

Di dunia internasional, kejadian ini akan membuat nama Indonesia dalam soal kebebasan pers semakin terpuruk. Tahun 2006 lalu, berdasarkan world wide press freedom index, Indonesia berada pada peringkat 117 dari 167 negara di seluruh dunia. Padahal dalam tahun 2002, Indonesia berada pada peringkat 67. Pengamat media massa, Leo Batubara mengatakan turunnya peringkat Indonesia ini disebabkan karena kebijakan negara yang makin mengancam kebebasan pers, seperti adanya RUU kerahasiaan negara dan RUU KUHP yang memuat 49 pasal yang dapat mengirim jurnalis ke penjara.

Hikmah terpenting dari kasus Time ini adalah kenyataan bahwa kebebasan pers yang dimiliki bangsa Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru (1998) dan kemudian dilegalkan dengan UU Pers No.40/1999 bukan sesuatu yang statis. Artinya, berbagai pihak masih mencoba melakukan berbagai cara untuk mengendalikan atau membatasi kebebasan pers.

Salah satunya adalah belum adanya kesatuan pendapat diantara para penegak hukum kita bahwa UU No.40/1999 tentang Pers adalah aturan hukum yang lex specialis, artinya jika timbul persoalan hukum akibat pemberitaan media massa, maka aturan hukum yang digunakan adalah UU Pers dan bukan aturan hukum lainnya. Tidak adanya kesatuan pendapat ini menyebabkan kriminalisasi pers (mengadili media massa dengan menggunakan KUHP) masih saja terjadi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sejak tahun 1999 hingga April 2007, hanya 6 kasus yang diselesaikan dengan menggunakan UU Pers sedangkan 35 lainnya menggunakan aturan hukum selain UU Pers.

Negara juga mempunyai rencana melakukan revisi UU Pers No.40/1999. Ini bagus saja jika membuat UU itu menjadi lebih baik. Sayangnya, semangatnya lebih untuk mengkontrol media massa. Rancangan revisi UU Pers yang beredar di masyarakat, dalam salah satu pasalnya memberi wewenang kepada negara melakukan breidel terhadap media massa yang dianggap melakukan sesuatu yang melanggar sara (suku, agama, ras dan antar golongan).

Beberapa rancangan UU baru juga mempunyai potensi untuk menghambat kebebasan pers, seperti RUU KUHP dimana ada sekitar 49 pasal yang dapat mengirim para jurnalis ke penjara. Begitu pula dengan RUU Kerahasiaan Negara yang membatasi ruang gerak pers karena jika suatu isu dinyatakan sebagai rahasia negara maka otmatis pers atau media massa tidak dapat meliputnya.

Melihat kecenderungan ini, maka tidak ada jalan lain bagi masyarakat sipil (civil society) untuk terus berjuang mempertahankan kebebasan pers yang sudah ada di tangan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat sudah merasakan banyak dampak positif dari kebebasan pers. Ambil contoh, masyarakat dapat mengikuti kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, kasus terbunuhnya pejuang hak asasi manusia, Munir yang kemungkinan besar melibatkan Badan Intelijen Negera dan kasus penyiksaan di IPDN. Pendek kata, melalui pers bebas, masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap berbagai persoalan publik.

Ada banyak jalan untuk terus memperjuangkan kemerdekaan pers. Yang paling sederhana adalah melalui cara turun ke jalan (menggelar demonstrasi) sehingga terbentuk opini publik. Cara lain adalah artikulasi kepentingan dari konstituen kepada partai politik atau dari masayarakat ke lembaga legislatif. Selain itu, dapat pula ditempuh kampanye melalui media massa, diskusi ilmiah di berbagai forum, lobi-lobi politik dan masih banyak lainnya.

Berbagai cara di atas diharapkan dapat semakin meyakinkan masyarakat luas soal pentingnya kebebasan pers. Dalam kehidupan politik yang demokratis, kehadiran kebebasan pers adalah syarat yang tidak dapat ditawar lagi. Tanpa ada kebebasan pers, masyarakat tidak mungkin dapat mengikuti berbagai kasus seperti dicontohkan di atas. Albert Camus, seorang filsuf eksitensialis yang lahir di Aljazair pernah mengingatkan kita semua,” Kebebasan pers bisa berdampak baik atau buruk tetapi yang pasti tanpa kebebasan pers, tidak bisa apa-apa kecuali menjadi buruk.”

Pernah dimuat di Harian Bernas Jogja, 1 Oktober 2007

No comments: