Oleh:Bambang MBK
Dalam bulan Februari ini, ada dua persoalan dalam dunia jurnalisme yang layak dibicarakan. Pertama, hari pers nasional, sebuah momen yang biasanya digunakan untuk membicarakan tentang kualitas profesionalisme jurnalis atau media massa di Indonesia. Kedua, dalam bulan ini RAPBD (Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah) kota dan kabupaten di wilayah Propinsi Yogyakarta akan disahkan. Sudah seperti biasanya, di dalam RAPBD ini terdapat banyak pos dana yang dianggarkan untuk wartawan.
Adakah dua hal ini saling berhubungan? Jelas saling berhubungan karena berdasarkan kode etik wartawan Indonesia (KEWI) jurnalis tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari nara sumber karena bisa diartikan suap. Di hari pers ini, sudah selayaknya semua pihak yang terkait memberikan perhatiannya terhadap persoalan ini. Jika mau jujur, ini adalah sebuah persoalan serius yang harus segera diselesaikan.
Kasus
Setiap tahun pemerintah kabupaten, kota dan propinsi mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang di dalamnya selalu mengalokasikan dana untuk para wartawan. Mengapa para jurnalis perlu mendapat alokasi dana itu, padahal mereka jelas bukan pegawai negeri ?
‘Tradisi’ ini sudah berlangsung lama dan hampir terjadi di setiap pemerintahan dari Sabang hingga Merauke. Meskipun banyak pihak sudah melontarkan kritik, namun pemerintah tetap melakukakannya. “Anjing menggonggong, kafilah berlalu,” begitulah prinsip yang dijalankan pemerintah dalam persoalan ini.
Tahun 2006 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta pernah memberikan masukan tentang persoalan ini kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Tetapi tampaknya, Pemkot Yogyakarta tidak meresponnya dengan positif.
Tahun ini, pos dana untuk wartawan dalam RAPBD kembali terjadi. Salah satunya dapat kita lihat dalam RAPBD Kabupaten Bantul. Untuk program Pengembangan Informasi, Komunikasi Media Massa dengan kegiatan jumpa pers anggarannya: Rp 6.475.000; Siaran pers, Rp 95.400.000; Pemberdayaan Organisasi Wartawan, Rp 69.425.000 dan Peliputan Dinamika Pembangunan Desa, Rp 37.000.000.
Memang, jumlah di atas adalah ‘glundungan’, artinya tidak semuanya diberikan kepada wartawan karena digabungkan dengan pos anggaran untuk keperluan lain. Namun, khusus dalam kegiatan jumpa pers, disebutkan honor para wartawan, besarnya Rp 50.000 untuk 80 jurnalis, total Rp 4.000.000. Contoh lain, untuk Pemberdayaan Organisasi Wartawan, selain mengalokasikan kepada organisasi wartawan (besarnya Rp 5 juta) ada honor wartawan, besarnya Rp 6.300.000.
Kasus dalam RAPBD Kabupaten Bantul di atas hanya sekedar contoh saja. Persoalan sama dari wilayah lain tidak disebutkan mengingat tempat untuk mengeksplorasinya yang terbatas. Namun publik dapat melakukan cek, persoalan ini juga ada di semua RAPBD kabupaten, kota dan propinsi. Kadang-kadang, alokasi dana untuk wartawan ini tidak nampak karena tidak disebutkan secara eksplisit.
Soal etika jurnalistik
Persoalannya adalah jika para wartawan bukan pegawai negeri mengapa ada alokasi honor untuk mereka? Salah satu alasan yang masuk akal adalah pemerintah mencoba ‘membujuk’ secara halus – walau tidak pernah diucapkan secara eksplisit – agar para wartawan menulis secara baik-baik tentang kegiatan pemerintah.
Kita tentu sadar ketika wartawan berhadapan dengan pemerintah, pada hakekatnya mereka berada dalam posisi berseberangan. Jurnalis adalah representasi dunia media massa yang salah satu tugasnya mengontrol kekuasaan (power) yang dijalankan pemerintah. Mengapa? Lord Acton dengan jelas mengabarkan power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Agar pemerintah terlepas dari kontrol jurnalis sehingga dapat melakukan corrupt, salah satu jurus yang dilancarkan adalah memberikan honor kepada wartawan. Karena didasarkan pada tujuan tertentu, pemberian honor kepada wartawan ini dapat diartikan sebagai suap. Pemerintah mencoba mempengaruhi wartawan agar tidak independen dan berada di posisi mereka.
Para wartawan seharusnya juga menolak pemberian ini karena melanggar kode etik jurnalistik. Dasarnya adalah KEWI, pasal 6: ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan menerima suap.” Penjelasannya: suap adalah segala bentuk pemberian uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Namun banyak jurnalis yang mengatakan meskipun menerima uang dari pemerintah (dalam jumpa pers atau even yang lain) mereka mengatakan tetap independen. Tetapi persoalannya, jika uang ini selalu diterima terus-menerus selama bertahun-tahun, apakah hal ini tidak menggerus independensi para wartawan?
Mengapa pula media massa besar dan kredibel juga melarang para jurnalisnya menerima sesuatu (uang atau barang) dari nara sumbernya? Larangan ini tidak hanya diberlakukan oleh media massa di Indonesia saja tetapi juga di seluruh dunia. Ini semua dimaksudkan untuk menjaga agar para jurnalisnya tetap independen.
Kondisi internal jurnalis
Di lapangan, tidak hanya pemerintah yang memberikan ‘honor’ kepada jurnalis. Hampir semua pihak yang mengadakan jumpa pers pasti memberikan ‘sangu’ kepada para wartawan. Saat meliput suatu persoalan serius, (abuse of power) tidak jarang nara sumber yang terkait memberikan ‘salam tempel’ kepada para jurnalis.
Bila para wartawan menerima semua pemberian dari nara sumbernya, atau pihak yang seharusnya mereka kontrol, itu semata-mata bukan karena kesalahan para jurnalis. Kondisi sosial-ekonomi para jurnalis yang memprihatinkan adalah salah satu faktor penting yang memaksa mereka melakukan itu.
Bukan rahasia umum lagi jika para jurnalis, terutama yang bekerja untuk media massa kecil di daerah, kondisi soial-ekonominya sangat memprihatinkan. Namun para wartawan dari media besar pun tidak sedikit yang mengalami over work, under pay !
Harus diakui kondisi kerja para wartawan masih jauh dari ideal. Banyak perusahaan media massa melakukan pelanggaran UU Ketenagakerjaan. Misalnya banyak jurnalis yang statusnya tidak jelas apakah mereka tenaga kontrakan atau karyawan. Jika dikontrak pun, berlangsung selama bertahun-tahun (untuk tidak menyebutkan selamanya). Padahal UU Ketenagakerjaan mengharuskan kontrak hanya berlaku dua periode saja.
Kondisi yang tidak kondusif ini berpengaruh terhadap besaran tunjangan yang menjadi hak para jurnalis. Take home pay yang diterima pun sangat kecil. Bahkan di beberapa media massa, ada yang besarannya dibawah standar UMP (upah minimum propinsi)! Dengan kata lain, ada unsur eksploitasi pada titik ini.
Dengan posisinya sebagai alat kontrol, namun berpenghasilan rendah dan bekerja dalam situasi ketenagakerjaan yang tidak ideal, dapat dipastikan wartawan rawan menerima suap. Wartawan juga manusia! Kondisi inilah yang dimanfaatkan para nara sumber yang mencoba mengontrol wartawan dengan memberikan berbagai bentuk imbalan.
Solusi
Pemerintah sebagai lembaga regulator, sudah sepantasnya berperan dalam menciptakan kondisi ketenagakerjaan di perusahaan media massa agar kondusif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukannya justru memberikan honor (yang diatur dalam APBD) yang dalam jangka panjang berpotensi merusak moral jurnalis.
Bila pemerintah memang mempunyai niat untuk menciptakan para jurnalis yang profesional, alokasi dana untuk honor wartawan yang mencapai puluhan juta rupiah itu dapat dialihkan untuk membiayai pelatihan jurnalistik agar para wartawan menjadi kian profesional, mempunyai pemahaman kode etik jurnalistik yang benar. Hasilnya, mereka dapat menghasilkan berita yang kritis, berpihak pada kepentingan umum dan tidak menjadi public relation dari pemerintah.
Selain itu, sudah saatnya para jurnalis bersatu (bisa dalam serikat pekerja pers) dan melakukan advokasi terhadap diri mereka sendiri. Tidak hanya berani melakukan advokasi terhadap nasib orang lain. Filosofi lilin yang menyala –memberikan penerangan pada orang lain, tetapi dirinya sendiri hancur -- sudah waktunya ditinggalkan.
Para jurnalis berhak menuntut terciptanya kondisi ketenagakerjaan yang sesuai peraturan dan gaji yang memadai. Mengapa? Agar para jurnalis dapat menjalankan profesinya secara profesional sehingga menghasilkan berita yang bermutu. Selamat hari pers nasional!
*Pernah dimuat di Harian Bernas Jogja, 10 Pebruari 2007
No comments:
Post a Comment