Oleh: Bambang MBK
Dalam memperingati hari buruh (May Day) yang jatuh setiap 1 Mei, kali ini tidak ada salahnya jika kita juga membicarakan kondisi kerja yang dihadapi para jurnalis. Mengapa, apakah jurnalis masuk dalam kategori buruh? Belum ada kesepakatan bulat untuk jawaban atas pertanyaan ini. Namun sebetulnya, jawabannya bisa ya atau tidak.
Untuk menjawab persoalan di atas, tentu saja kata kuncinya adalah apakah definisi buruh itu. Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain (majikan) dan sebagai imbalannya ia mendapatkan sejumlah upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan definisi di atas, para jurnalis yang bekerja untuk perusahaan media massa yang dimiliki para pemilik modal, jelas masuk dalam kategori buruh. Tetapi para jurnalis yang bekerja untuk dirinya sendiri, semisal mengelola situs berita di dunia maya dan ia mendapatkan keuntungan dari aktivitasnya itu, tentu saja tidak masuk dalam kategori sebagai buruh.
Lantas bagaimana dengan jurnalis lepas atau freelance? Ketika ia diminta atau atas inisiatif sendiri membuat berita untuk media massa tertentu, pada hakekatnya ia juga buruh. Sebab ia bekerja untuk orang lain dan mendapatkan imbalan (reward) atas kerjanya itu.
Hingga kini tidak ada data jelas tentang berapa jurnalis di Indonesia. Tetapi dapat diperkirakan jurnalis yang masuk dalam kategori buruh, kemungkinan besar jumlahnya lebih besar dari pada jurnalis yang tidak masuk dalam kategori generic sebagai buruh.
Namun satu hal yang pasti, kondisi ketenagakerjaan para jurnalis di Indonesia yang masuk dalam kategori buruh itu secara umum belum bagus. Hanya para jurnalis yang bekerja di media massa besar saja yang relatif sudah menikmati kesejahteraan bagus. Paling tidak ada tiga hal serius yang berkaitan dengan persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi jurnalis sebagai buruh, yaitu soal upah, mekanisme hubungan perburuhan dan kebebasan mendirikan serikat pekerja.
Bukan rahasia umum lagi jika upah jurnalis di Indonesia masih tergolong rendah. Survei AJI (Aliansi Jurnalis Independen) tahun 2005 tentang media dan jurnalis di 17 kota di Indonesia menunjukkan sekitar 63 persen responden (jurnalis) bergaji antara Rp 600 ribu hingga Rp 1,8 juta. Bahkan sebanyak 1,5 persen mengaku bergaji di bawah Rp 200 ribu !
Survei ini memperlihatkan bila gaji jurnalis tidak lebih banyak dari buruh di bidang manufaktur. Padahal dalam bekerja jurnalis menggabungkan unsur kerja fisik dan intelektual serta masih menanggung ancaman dan resiko kerja yang cukup tinggi. Kita tentu masih ingat wartawan Bernas, Udin dibunuh karena kerja jurnalistiknya.
Persoalan serius selanjutnya adalah soal hubungan kerja. Banyak jurnalis, apalagi reporter daerah (dari media nasional) yang bekerja tanpa ikatan kerja jelas. Tapi banyak pula media massa lokal yang masih melakukan kontrak kerja atau bahkan tanpa ada ikatan apa pun terhadap jurnalisnya (padahal menurut UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dua hal ini tidak diperbolehkan).
Hubungan kerja yang seperti ini membuat jurnalis merasa tidak jelas statusnya sehingga sulit untuk meminta hak-haknya sebagai buruh. Kondisi ini juga memaksa jurnalis membuat berita sebanyak-banyaknya dengan konsekwensi beritanya tidak mendalam, demi untuk akumulasi modal untuk menopang kehidupannya saat ini dan dimasa depan.
Selain dua persoalan di atas, yang tidak kalah penting adalah persoalan pendirian serikat perkerja pers (SPP) di tiap perusahaan media massa. Hingga saat ini, tidak banyak perusahaan media massa yang mempunyai SPP. Ada dua hal pokok yang menjadi penyebab: pertama masih ada jurnalis yang belum mempunyai kesadaran bila jurnalis adalah buruh. Ini misalnya dapat dilihat dari puluhan organisasi profesi jurnalis yang ada di Indonesia, baru AJI yang menyatakan diri sebagai serikat pekerja.
Kedua, dari pihak manajemen media massa masih banyak yang menganggap SPP sebagai organisasi dengan stigma buruk, seperti tukang pembuat mogok kerja, membuat tuntutan terlalu banyak dan lain sebagainya. Tidak heran jika masih ada upaya untuk membunuh setiap embrio SPP yang akan muncul atau menghambat perkembangan SPP yang sudah ada.
Padahal pendirian SPP yang dijamin UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja mempunyai makna penting. SPP adalah medium bagi pekerja media untuk memperjuangkan nasibnya. Presiden International Federation of Journalist (IFJ), Christopher Warren pernah mengatakan SPP penting bagi terciptanya kebebasan pers. Sementara pers yang bebas dan kuat tidak mungkin tercipta jika kondisi kesejahteraan hidup jurnalisnya buruk.
Kondisi ketenagakerjaan jurnalis yang buruk ini membawa dampak negatif kepada jurnalis sebagai individu dan masyarakat umum.
Pertama, secara individual, para jurnalis apalagi yang berkeluarga tidak dapat menggantungkan hidupnya secara penuh dari pendapatannya sebagai jurnalis. Mereka harus memiliki side job untuk menopang hidup dirinya sendiri dan keluarga. Konsekwensinya, dengan terbaginya waktu dan tenaga, produktivitas mereka dalam menghasilkan berita yang bagus menjadi berkurang.
Kedua, rendahnya salary juga menutup kemungkinan bagi para jurnalis untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan jurnalistiknya. Bagaimana mungkin mereka akan mencukupi kubutuhan tersier itu jika untuk yang primer saja sudah megap-megap?
Ketiga, rendahnya imbalan gaji yang diterima para jurnalis menyebabkan mereka tidak tangguh di lapangan dan tidak berusaha maksimal untuk mendapat dan membuat berita bagus. “Berapa sih bayaran yang akan kita terima, kok kita harus membuat berita bagus?” ujar seorang jurnalis lokal kepada penulis.
Keempat buruknya pendapatan juga membuka peluang para jurnalis untuk menerima ‘amplop’ dari para nara sumber. Secara otomatis, adanya ‘insentif’ ini akan menggoda para jurnalis untuk memburu berita yang ‘basah’ dari pada menggali realitas sosiologis lain (mempunyai muatan kepentingan publik) yang ‘kering’.
Bukan rahasia umum lagi jika para jurnalis yang rajin menerima ‘amplop’ (baca: uang sogokan) – tentu saja ini tidak berlaku bagi jurnalis yang tunduk kepada kode etik jurnalistik -- dalam satu bulan jumlahnya jauh lebih tinggi dari gaji bulanan mereka.
Kombinasi dari empat hal itu tentu saja membawa dampak negatif bagi masyarakat sebagai konsumen berita. Masyarakat umum tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi bermutu. Item berita yang muncul di media massa cenderung didominasi berita seremonial, tidak ‘menggigit’, dangkal, cenderung seragam dan tidak mempunyai relevansi kuat dengan kepentingan umum.
Tidak berlebihan bila kuasa ‘amplop’ menjadi salah satu faktor yang mengancam kebebasan pers Indonesia di masa reformasi ini. ‘Amplop’ secara tidak disadari ternyata juga turut serta dalam menentukan kebijakan redaksi tentang berita apa yang akan keluar di media massa. Sebab jurnalis cenderung akan ‘memakan’ berita-berita yang ada attachment ‘amplop’ itu. Selain itu ‘amplop’ juga cenderung membunuh daya kritis jurnalis.
Dengan berbagai akibat seperti diuraikan di atas, sudah seharusnya jika pemerintah, Dewan Pers, lembaga legislatif, para pemilik media massa dan berbagai pihak yang memilih demokrasi sebagai tatanan sosial-politik seharusnya memberikan perhatian kepada kehidupan jurnalis. Elemen buruh ini masih hidup dengan tingkat kesejahteraan yang minim.
Kesejahteraan jurnalis yang buruk ini mendorong terjadinya ‘jurnalisme amplop’. Padahal seperti dijelaskan di atas, ‘amplop’ mempunyai potensi untuk menghambat kebebasan pers. Albert Camus pernah memperingatkan betapa pentingnya menjaga kebebasan pers. Ia mengatakan,”Kebebasan pers dapat berarti baik dan buruk. Tetapi tanpa kebebasan pers yang ada hanyalah keburukan.”
Semoga peringatan Hari Buruh kali ini menjadi momen reflektif dan cambuk bagi kita bersama untuk memperbaiki kehidupan para jurnalis. Bagimana bentuk kesejahteraan jurnalis yang ideal? Mari kita bicarakan bersama!
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bernas Jogja, 2 Mei 2007
No comments:
Post a Comment