“Dengan langganan yang saya sudah kenal baik, kita tidak menggunakan kondom. Tetapi dengan orang lain yang saya belum kenal, pasti menggunakan kondom.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Mira (bukan nama sebenarnya), seorang pekerja seks komersial yang masih sangat muda. Ia baru berumur sekitar 18 tahun. Tetapi perempuan asal salatiga ini sudah mempunyai satu anak hasil cinta kasih dengan pacarnya saat Mira duduk di kelas dua SMU. Kerena ‘married by accident’, perempuan berwajah cantik ini harus berhenti sekolah dan hanya menggegam ijasah SMP saja.
Pertemuan saya dengan Mira, bisa dikatakan tidak disengaja. Melalui jalur yang cukup rumit, akhirnya Mira bisa bertemu dengan Sandra van Den Newel, seorang mahasiswi jurusan komunikasi dari Universitas Utrecht, Belanda yang berkunjung ke Indonesia pertengahan januari 2009. Sandra berencana menulis artikel tentang pelacuran anak-anak. Dan kebetulan, saya menjadi penterjemahnya karena Mira tidak bisa berbahasa Inggris.
Wawancara ini cukup mahal karena Sarah harus membayar sebesar Rp 350 ribu rupiah untuk dua jam. Sama dengan harga jika ia harus melayani para tamu pria yang menginginkan dirinya. Saat datang di kamar sebuah hotel berbintang di Yogyakarta – dimana wawancara dilakukan – Mira bersama seorang teman sebayanya. Uang dari Sarah diberikan kepada teman Mira yang setelah berbincang sejenak segera pergi.
Begitulah sistemnya jika Mira melayani tamunya. Uang jasa dibayarkan di depan dan diberikan kepada temannya yang datang bersamanya. “Supaya aman sebab tamu terkadang juga suka mencuri,” ujar Mira yang pernah kehilangan handphone itu. Bila tamu berbuat kasar, ia juga tak segan segera angkat kaki.
Dari wawancara itu, saya mengetahui sekelumit kehidupan Mira. Sebetulnya ia berat menjalani hidup sebagai pekerja seks komersial. Tetapi apa daya, keadaan yang memaksanya menjalani pekerjaan yang sudah berumur sangat tua ini. Ia harus menghidupi anak dan juga keluarganya (ibu, satu orang kakak laki-laki dan satu kakak perempuan). Kekasihnya sendiri meninggal akibat kecelakaan tak lama setelah mereka menikah.
Disela wawancara itu, saya bertanya kepada Mira seputar persoalan HIV/AIDS. Sebagai seorang yang beresiko tinggi tertular, ternyata ia belum pernah memeriksakan dirinya. Padahal ia sudah bekerja sebagai pekerja seks komersial lebih dari satu tahun. “Saya belum pernah memeriksakan diri, dimana tempatnya?” ujarnya kepada saya.
Dari perbincangan dengan Mira, saya tahu mengapa ia belum memeriksakan diri. Mira tidak mengetahui banyak persoalan seputar HIV/AIDS. Wajar jika ia masih ‘bermain api’ saat melayani para tamunya. Ia hanya menuntut tamunya yang belum dikenalnya untuk menggunakan kondom. “Jika tidak mau, saya menolak melayaninya,” ujar Mira yang tinggal di sekitar Jalan Monumen Jogja Kembali (Monjali) itu.
Itu bagus, sayang dengan pelanggan yang sudah dikenalnya, ia tidak mewajibkan menggunakan pengunaan sarung karet itu. Kepadanya saya katakan dengan siapa pun, sebaiknya harus menggunakan kondom. Ia pun masih mendebat,”Masak dengan langganan saya yang anaknya pemilik hotel (ia menyebutkan salah satu hotel terkenal dan berbintang di kota Yogyakarta) dapat menularkan?” katanya.
Saya menjelaskan kepadanya, tidak ada jaminan langganannya itu tidak berhubungan seks dengan wanita lain yang mungkin saja sudah terpapar virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Mira pun terdiam. Ia merasa takut jika ternyata sudah tertular HIV. Saya mengingatkan semakin cepat diketahui justru semakin baik karena dapat segera diobati. “Ingatlah bahwa kau harus mendampingi anakmu,” ujar saya mencoba memberikan alasan kuat.
Di Yogyakarta, Mira tentu saja tidak sendirian. Ada puluhan atau bahkan mungkin ratusan. Persoalan seks tentu tak bisa lepas dari dinamika kota Yogyakarta yang mempunyai predikat sebagai kota pariwisata. Mau tidak mau ini adalah fakta yang harus kita akui. Jika sebagian besar dari mereka tidak tahu persoalan HIV/AIDS, tentu sangat berbahaya. Potensi naiknya angka HIV/AIDS bisa meningkat tajam.
Data awal sudah menunjukkan hal itu. Hingga awal Oktober 2008 lalu, angka pengidap HIV/AIDS di Yogyakarta mencapai 615, meningkat lebih dari 100 orang jika dibandingkan dengan data pada awal tahun. Slamet Riyadi, salah seorang anggota Koalisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi DIY seperti dikutip situs http://www.indofamilyhealth.com/ mengatakan angka itu hanyalah puncak dari gunung es saja. Angka riilnya jauh lebih tinggi.
Sayangnya, pekerja seks komersial seperti Mira sulit dijangkau petugas kesehatan. Ia tidak tinggal di lokalisasi yang dapat dimonitor petugas kesehatan secara berkala. Mira dan ‘Mira-Mira’ lainnya dapat tinggal dimana pun dan bekerja melalui jaringan yang mereka punya. Cukup dengan meninggalkan nomor HP kepada para ‘broker’ maka Mira dan teman-temannya sudah dapat bekerja.
Inilah sebuah tantangan yang harus dijawab pemerintah, masyarakat dan siapa pun yang mempunyai perhatian terhadap persoalan HIV/AIDS. Menganggap mereka sebagai sesuatu yang tidak ada atau melarangnya justru akan menjadi bumerang. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Siti Noor Zaenab mengatakan pihaknya merasa kesulitan mengontrol jumlah orang yang menjadi sasaran terinveksi HIV karena di Kabupaten Bantul ada Perda Pelarangan Pelacuran (Bernas Jogja, 5 Februari 2008).
Untuk mencegah agar Mira dan “Mira- Mira” lainnya terinfeksi HIV, sudah semestinya pemerintah mencatat mereka. Memang tidak mudah karena mereka hidup ‘dibawah permukaan’. Selain itu pemerintah juga harus gencar memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas bagaimana mencegah tertular HIV/AIDS. (Bambang MBK)
No comments:
Post a Comment