Tuesday, February 17, 2009

AJI Yogyakarta, LBH Pers dan DRSP USAID Adakan



Hingga saat ini, kriminalisasi pers, masih menjadi ancaman utama bagi kebebasan pers di Indonesia. Hingga tahun 2007, AJI Indonesia mencatat ada 54 kasus yang melibatkan pers, tetapi hanya 16 yang diselesaikan dengan menggunakan UU No.40/1999 tentang Pers. Sisanya menggunakan KUHP yang berpotensi memenjarakan jurnalis akibat berita yang dibuatnya, inilah yang disebut sebagai kriminalisasi pers.

Para ahli media mengatakan kriminalisai pers menjadi ancaman bagi kebebasan pers karena membuat jurnalis tidak bebas dalam membuat berita. Sebab mereka yang tidak puas dengan berita di media massa dapat membawa persoalan ini ke meja hijau dengan tuduhan penghinaan, pencemaran nama baik dan lain sebaginya. Konsekwensinya, jika dinyatakan bersalah, sang jurnalis dapat dikirim ke penjara.

Padahal UU Pers sudah memberikan jalan keluar yang singkat dan hemat biaya, yaitu hak jawab dan hak koreksi. “kata-kata harus dibalas dengan kata-kata,” demikian prinsipnya. Bukan kata-kata dibalas dengan penjara.

Tetapi kenyataannya banyak aparat hukum kita yang masih tidak mau menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan persoalan hukum akibat pemberitaan media massa. Lihat misalnya kasus tulisan Bersihar lubis di Koran Tempo yang menulis artikel berjudul “Kisah Interogator yang Dungu”. Aparat kejaksaan yang merasa terhina dengan tulisan ini melaporkannya kepada kepolisian dan berujung pada vonis hakim: 1 bulan penjara bagi Bersihar Lubis.

Untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya penggunaan UU Pers dalam menyelesaikan berbagai kasus hukum, AJI Yogyakarta bekerja sama dengan LBH pers dan DRSP, USAID mengadakan workshop bertema Aparatus Berperspektif Pers. Workshop yang berlangsung di Hotel Quality, Yogyakarta ini diikuti sekitar 30-an aparat dari kejaksaan dan pengadilan di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hadir sebagai pembicara adalah Direktur LBH Pers, Hendrayana, mantan anggota Dewan Pers dan wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja, anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, dan anggota hakim anggota Majelis Agung, Artijo Alkostar.

Dalam kesempatan itu, Artijo mengatakan sepanjang jurnalis sudah menjalankan tugasnya secara profesional dan tidak keluar dari kode etik jurnalistik maka mereka tidak dapat diproses secara hukum. UU Pers No.40 tahun 1999 melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Kebabasan pers, menurut Artidjo adalah hak asasi manusia sebab dengan kebebasan pers, media massa dapat menjalankan kontrolnya terhadap kekuasaan sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran HAM.

Sedangkan Atmakusumah mengatakan banyak negara, bahkan negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia sudah menghilangkan pasal pencemaran nama baik dari undang-undang mereka. Salah satunya adalah Timor Leste yang belum lama ini merdeka dari Indonesia. “Mengapa kita justru jauh tertinggal?” gugat mantan wartawan koran Indonesia Raya.

Dalam sesi kedua, Hendrayana menjelaskkan aspek-aspek dari UU Pers yang antara lain memberikan mekanisme hak jawab dan hak koreksi bagi mereka yang tidak puas dengan pemberitaan di media massa.

Perdebatan sengit terjadi antara Bekti dan beberapa peserta workshop. Anggota Dewan Pers yang masih bekerja di RCTI ini mengajak para penegak hukum agar lebih mengutamakan penuntasan kasus korupsi dari pada kasus pencemaran nama baik yang biasanya diajukan para pengusaha dan penguasa kepeda media massa. Tetapi beberapa dari mereka tidak setuju dengan pendapat Bekti ini.

Dengan Workshop ini, diharapkan para penegak hukum dapat mengerti lebih banyak tentang proses penyelesaian hukum yang timbul akibat pemberitaan di media massa. Para penegak hukum itu diharapkan menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan persoalan hukum akibat pemberitaan di media massa. Sebab hanya dengan mekanisme ini, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi masih dapat dipelihara dan dipertahankan.
Makalah dari workshop ini dapat diunduh di jurnalisme dan kebebasan pers.

No comments: