Oleh: Atmakusumah Astraatmadja
Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 2008, yang diedarkan kepada para ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, merupakan sedikitnya terobosan yang keempat dalam sejarah pers kita dalam upaya melindungi kebebasan pers di Indonesia. Edaran itu ditandatangani oleh Dr. Harifin A. Tumpa, waktu itu Pelaksana Tugas Ketua Mahkamah Agung, yang kini menggantikan Prof. Dr. Bagir Manan sebagai ketua Mahkamah Agung.
Isi Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2008 itu hanya terdiri atas dua alinea, berupa anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Alasannya “karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik.”
Dengan meminta kesaksian ahli di bidang pers dari Dewan Pers, Mahkamah Agung berharap akan “memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers.”
Betapapun sederhananya Surat Edaran ini, dan sekadar sebagai anjuran, sikap dan pandangan ketua Mahkamah Agung itu sangat penting sebagai terobosan untuk mengembangkan kebebasan pers. Edaran itu mencerminkan penghargaan kepada prakarsa-prakarsa Dewan Pers selama ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti dan kedudukan pers sebagai tempat bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi.
Seruan-seruan kepada para hakim untuk memahami makna kebebasan pers sudah bertahun-tahun dilancarkan oleh ketua Mahkamah Agung sebelumnya. Setidaknya ada tiga pernyataan penting dari Bagir Manan yang dicatat dalam pemberitaan pers sejak akhir 2003 dan sebelum ia pensiun pada 2008.
Dalam wawancara di majalah berita Tempo edisi 12—19 Oktober 2003, ia berpendapat: “Kita sudah bertekad bahwa kebebasan pers merupakan salah satu unsur absolut dalam kehidupan demokrasi kita. Ini prinsip yang harus disadari semua orang—termasuk oleh para hakim….” Dalam pidato pelantikan hakim agung dan ketua Pengadilan Tinggi pada 14 September 2004, ia mengatakan: “Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi. Tetapi, sekaligus penjaga demokrasi…. Jangan sampai tangan hakim berlumuran, ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi….”
Ketika membuka rapat kerja nasional Mahkamah Agung di Kuta, Bali, pada 19 September 2005, ia menjelaskan telah memberi petunjuk kepada para hakim agar dalam putusan hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pers diterapkan denda sebagai ganti rugi, bukan hukuman badan, apalagi sampai menutup perusahaan pers. Tujuannya adalah demi pendidikan bagi pers, bukan untuk menghukum pers, apalagi mematikan kebebasan pers, kata Bagir Manan. Ia mengingatkan kepada para hakim di seluruh Indonesia agar vonis pengadilan tidak sampai menghentikan kegiatan pers karena para hakim berkewajiban menjamin dan melindungi kebebasan pers.
Terobosan Kejaksaan Agung
Tahun 1953 sampai UU Pers 1999
Terobosan pertama oleh penegak hukum untuk melindungi kebebasan pers, dalam catatan saya, adalah ketika Kejaksaan Agung pada 1953 membekukan tuntutan pemerintah Perdana Menteri Wilopo untuk mengajukan pemimpin redaksi harian Pemandangan di Jakarta, Asa Bafagih, ke pengadilan. Surat kabar ini dituduh membocorkan rahasia negara ketika pada 1952 menyiarkan rencana gaji baru bagi pegawai negeri dan tahun berikutnya memberitakan rencana pemerintah untuk mengizinkan modal asing bagi 21 jenis industri.
Sebaliknya, Bafagih menganggap kedua kabar itu hanyalah berita biasa, bukan rahasia negara. Ia juga tidak bersedia mengungkapkan narasumber kedua berita itu kepada Kejaksaan, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung—sesuai dengan pedoman etika pers yang berlaku universal mengenai hak ingkar atau hak tolak wartawan.
Gugatan pemerintah itu dibekukan oleh Kejaksaan Agung setelah di Jakarta pada 5 Agustus 1953 terjadi demonstrasi lebih dari 100 wartawan, beberapa ratus pekerja surat kabar dan percetakan, serta beberapa puluh mahasiswa Akademi Wartawan. Mereka membacakan petisi di Kejaksaan Agung, gedung parlemen, dan kantor kabinet perdana menteri, yang menyerukan pembatalan gugatan pemerintah terhadap Bafagih dan meminta pengakuan bagi hak ingkar wartawan.
Terobosan kedua yang penting bagi kebebasan pers, pada hemat saya, adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengabulkan permintaan majalah Tempo untuk memulihkan terbitannya setelah diberedel oleh Departemen Penerangan pada Juni 1994.
Seandainya putusan PTUN dan PTTUN itu didukung oleh Mahkamah Agung, vonis ini dapat membukakan gerbang baru bagi kebebasan pers dalam sejarah pers di negeri ini. Pemberedelan seperti dalam bentuknya waktu itu—yang semata-mata berdasarkan putusan sepihak dari pemerintah—akan menjadi sejarah masa lampau, dan nasib pers di Indonesia dapat menjadi lebih cerah. Sayangnya, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan vonis PTUN dan PTTUN dan memberikan putusan kasasi yang memenangkan atau membenarkan Departemen Penerangan.
Pendapat Tempo, yang dibenarkan oleh PTUN dan PTTUN, menganggap pembatalan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari majalah itu sebagai pemberedelan atau pemberangusan karena mengakibatkan kematian media pers. Pemberedelan, memang, dilarang oleh undang-undang pers, baik yang berlaku sekarang maupun pada masa itu. Akan tetapi, pandangan Departemen Penerangan, yang didukung oleh Mahkamah Agung, hanya menganggap pembatalan SIUPP sekadar sebagai ”pengambilan kembali apa yang pernah diberikannya kepada Tempo” dan tidak diartikan sebagai pemberedelan.
Terobosan ketiga untuk membukakan gerbang kebebasan pers adalah upaya Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah dan stafnya di Departemen Penerangan, pada 1998—1999, untuk melahirkan Undang-Undang Pers yang melarang pemberedelan, penyensoran, dan penghentian siaran. Undang-undang ini tidak lagi memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk melarang penerbitan pers. Bahkan tidak ada lagi ketentuan tentang surat izin atau lisensi bagi media pers cetak. Perusahaan pers hanya diwajibkan berbentuk badan hukum.
___________________
Penulis adalah pengamat pers, pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan School for Broadcast Media (SBM), ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre, serta anggota Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBHPers) dan Dewan Pembina Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Bagian awal tulisan ini dimuat harian Suara Karya, edisi 9 Februari 2009.
Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 2008, yang diedarkan kepada para ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, merupakan sedikitnya terobosan yang keempat dalam sejarah pers kita dalam upaya melindungi kebebasan pers di Indonesia. Edaran itu ditandatangani oleh Dr. Harifin A. Tumpa, waktu itu Pelaksana Tugas Ketua Mahkamah Agung, yang kini menggantikan Prof. Dr. Bagir Manan sebagai ketua Mahkamah Agung.
Isi Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2008 itu hanya terdiri atas dua alinea, berupa anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Alasannya “karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik.”
Dengan meminta kesaksian ahli di bidang pers dari Dewan Pers, Mahkamah Agung berharap akan “memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers.”
Betapapun sederhananya Surat Edaran ini, dan sekadar sebagai anjuran, sikap dan pandangan ketua Mahkamah Agung itu sangat penting sebagai terobosan untuk mengembangkan kebebasan pers. Edaran itu mencerminkan penghargaan kepada prakarsa-prakarsa Dewan Pers selama ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti dan kedudukan pers sebagai tempat bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi.
Seruan-seruan kepada para hakim untuk memahami makna kebebasan pers sudah bertahun-tahun dilancarkan oleh ketua Mahkamah Agung sebelumnya. Setidaknya ada tiga pernyataan penting dari Bagir Manan yang dicatat dalam pemberitaan pers sejak akhir 2003 dan sebelum ia pensiun pada 2008.
Dalam wawancara di majalah berita Tempo edisi 12—19 Oktober 2003, ia berpendapat: “Kita sudah bertekad bahwa kebebasan pers merupakan salah satu unsur absolut dalam kehidupan demokrasi kita. Ini prinsip yang harus disadari semua orang—termasuk oleh para hakim….” Dalam pidato pelantikan hakim agung dan ketua Pengadilan Tinggi pada 14 September 2004, ia mengatakan: “Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi. Tetapi, sekaligus penjaga demokrasi…. Jangan sampai tangan hakim berlumuran, ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi….”
Ketika membuka rapat kerja nasional Mahkamah Agung di Kuta, Bali, pada 19 September 2005, ia menjelaskan telah memberi petunjuk kepada para hakim agar dalam putusan hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pers diterapkan denda sebagai ganti rugi, bukan hukuman badan, apalagi sampai menutup perusahaan pers. Tujuannya adalah demi pendidikan bagi pers, bukan untuk menghukum pers, apalagi mematikan kebebasan pers, kata Bagir Manan. Ia mengingatkan kepada para hakim di seluruh Indonesia agar vonis pengadilan tidak sampai menghentikan kegiatan pers karena para hakim berkewajiban menjamin dan melindungi kebebasan pers.
Terobosan Kejaksaan Agung
Tahun 1953 sampai UU Pers 1999
Terobosan pertama oleh penegak hukum untuk melindungi kebebasan pers, dalam catatan saya, adalah ketika Kejaksaan Agung pada 1953 membekukan tuntutan pemerintah Perdana Menteri Wilopo untuk mengajukan pemimpin redaksi harian Pemandangan di Jakarta, Asa Bafagih, ke pengadilan. Surat kabar ini dituduh membocorkan rahasia negara ketika pada 1952 menyiarkan rencana gaji baru bagi pegawai negeri dan tahun berikutnya memberitakan rencana pemerintah untuk mengizinkan modal asing bagi 21 jenis industri.
Sebaliknya, Bafagih menganggap kedua kabar itu hanyalah berita biasa, bukan rahasia negara. Ia juga tidak bersedia mengungkapkan narasumber kedua berita itu kepada Kejaksaan, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung—sesuai dengan pedoman etika pers yang berlaku universal mengenai hak ingkar atau hak tolak wartawan.
Gugatan pemerintah itu dibekukan oleh Kejaksaan Agung setelah di Jakarta pada 5 Agustus 1953 terjadi demonstrasi lebih dari 100 wartawan, beberapa ratus pekerja surat kabar dan percetakan, serta beberapa puluh mahasiswa Akademi Wartawan. Mereka membacakan petisi di Kejaksaan Agung, gedung parlemen, dan kantor kabinet perdana menteri, yang menyerukan pembatalan gugatan pemerintah terhadap Bafagih dan meminta pengakuan bagi hak ingkar wartawan.
Terobosan kedua yang penting bagi kebebasan pers, pada hemat saya, adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengabulkan permintaan majalah Tempo untuk memulihkan terbitannya setelah diberedel oleh Departemen Penerangan pada Juni 1994.
Seandainya putusan PTUN dan PTTUN itu didukung oleh Mahkamah Agung, vonis ini dapat membukakan gerbang baru bagi kebebasan pers dalam sejarah pers di negeri ini. Pemberedelan seperti dalam bentuknya waktu itu—yang semata-mata berdasarkan putusan sepihak dari pemerintah—akan menjadi sejarah masa lampau, dan nasib pers di Indonesia dapat menjadi lebih cerah. Sayangnya, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan vonis PTUN dan PTTUN dan memberikan putusan kasasi yang memenangkan atau membenarkan Departemen Penerangan.
Pendapat Tempo, yang dibenarkan oleh PTUN dan PTTUN, menganggap pembatalan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari majalah itu sebagai pemberedelan atau pemberangusan karena mengakibatkan kematian media pers. Pemberedelan, memang, dilarang oleh undang-undang pers, baik yang berlaku sekarang maupun pada masa itu. Akan tetapi, pandangan Departemen Penerangan, yang didukung oleh Mahkamah Agung, hanya menganggap pembatalan SIUPP sekadar sebagai ”pengambilan kembali apa yang pernah diberikannya kepada Tempo” dan tidak diartikan sebagai pemberedelan.
Terobosan ketiga untuk membukakan gerbang kebebasan pers adalah upaya Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah dan stafnya di Departemen Penerangan, pada 1998—1999, untuk melahirkan Undang-Undang Pers yang melarang pemberedelan, penyensoran, dan penghentian siaran. Undang-undang ini tidak lagi memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk melarang penerbitan pers. Bahkan tidak ada lagi ketentuan tentang surat izin atau lisensi bagi media pers cetak. Perusahaan pers hanya diwajibkan berbentuk badan hukum.
___________________
Penulis adalah pengamat pers, pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan School for Broadcast Media (SBM), ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre, serta anggota Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBHPers) dan Dewan Pembina Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Bagian awal tulisan ini dimuat harian Suara Karya, edisi 9 Februari 2009.
No comments:
Post a Comment