Thursday, December 10, 2009

PERSOALAN KONFLIK PEMILU DAN PILKADA

Oleh : Moch. Faried Cahyono

Sejak tahun 2005 pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung mulai diselenggarakan di Indonesia mengikuti pemilu yang memilih pimpinan nasional yang juga dipilih secara langsung. Pengalaman baru memilih pemimpin secara langsung itu merupakan jawaban atas tuntutan diselenggarakannya proses pemilihan yang lebih demokratis. Diharapkan dengan proses yang lebih demokratis akan didapat pemimpin daerah maupun pemimpin nasional yang tidak hanya mendapat dukungan penuh dari masyarakat, tetapi sekaligus memiliki kemampuan sebagaimana diharapkan masyarakat.

Setiap setiap proses penyelenggaraan pemilihan kita dihadapkan pada suasana tegang. Ada konflik kecil-kecilan, karena gesekan anta elit maupun pendukung, namun juga kita saksikan konflik dengan kekerasan kita saksikan sebagaimana terjadi di beberapa tempat. Konflik pilkada Depok adalah contoh yang terjadi di dekat pusat kekuasaan (Jakarta) dan konflik pilkada di Maluku Utara yang sempat berlarut, adalah contoh di wilayah yang jauh. Jika pemilu presiden dan wakil rakyat sudah bisa kita jadikan sebuah kebiasaan yang semakin lama semakin aman, maka kita masih memiliki persoalan dalam pelaksanaan pilkada. Tahun depan (2010) Depdagri menjadwalkan pilkada di 246 wilayah, baik propinsi, kabupaten maupun kota. Mendagri Gamawan Fauzy mengatakan, jadwal pilkada tidak akan ditunda. Tuntutan masyarakat untuk disatukannya pilkada dengan pilpres sebagaimana pemilu menyatukan proses pemilihan wakil rakyat semua tingkatan, belum akan dilaksanakan. Karena itu potensi konflik pilkada harus diantisipasi akan terjadi di 246 wilayah itu pada tahun depan.

Kita juga punya pelajaran pahit dari konflik yang berdarah sebagaimana pernah terjadi di Ambon dan Poso, bukanlah kejadian yang berdiri sendiri atau terjadi karena satu sebab saja. Salah satu sebab diantara yang pokok adalah karena pemberlakuan system pemilihan umum yang baru, dimana proses lebih demokratis, ternyata menyingkirkan balance of power yang sudah menjadi kebiasaan. Periode berdarah di Ambon dan Poso pada 1999-2004 terjadi sebuah perang sipil antar komunitas . Pada 1999 kelompok Islam menang dalam Pilada di dua memunculkan apa yang disebut sebagai fenomena the winner takes all . Semua posisi politik penting diambil pemenang, dan dalam kasus Ambon dan Poso kelompok Kristen kecewa.

Lalu, sebagaimana terjadi di banyak tempat, ledakan konflik tidaklah terjadi karena satu sebab. Kekecewaan di bawah bersinergi masalah krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat mudah diprovokasi. Masalah lokal juga bersinergi masalah nasional (Jakarta), dimana waktu itu imbas politik yang terjadi di Jakarta, menyebabkan preman-preman terusir dan dikirim balik ke daerah. Lalu terciptalah sebuah trigger konflik. Ketika kekerasan terjadi berlarut local wisdom yang dimiliki warga setempat, yang dimasa lalu berguna sebagai penyelesai konflik pun, tidak cukup lagi menangani persoalan konflik yang baru. Pada situasi ini harus dicatat sebuah fakta, bahwa media massa yang tidak netral telah terlibat dalam terjadinya eskalasi konflik.

Kini sesudah 5 tahun kita masuk ke tahap lanjut, dengan pemilihan langsung para pemimpin nasional dan lokal muncul, kejenuhan di sebagian rakyat. Bahwa ternyata pemilihan langsung yang boros biaya, penuh kekerasan, paling tidak sebagaimana dipersepsikan media khususnya televisi, ternyata gagal dalam mendapatkan pemimpin harapan. Masalah pokok rakyat, dalam hal kesejahteraan, belum lagi membaik. Angka-angka kemiskinan tak beranjak, dan meskipun orang tidak lagi menengok kembalinya system otoriter sebagaimana di jaman Suharto, mereka mempertanyakan efektifitas proses demokrasi, dan kemudian ketika tak berjawab, bermuara pada apatisme.

Apa yang harus dilakukan untuk menjawab apatisme itu, juga apakah ada pelajaran baik dari pelaksanaan pemilu dan pilkada yang aman dan menghasilkan pemimpin yang baik, diluar pilkada hiruk pikuk dengan kekerasan sebagaimana disukai sebagian televisi kita?

Memahami potensi konflik pemilu dan pilkada
Diluar berita konflik pilkada yang banyak disajikan media massa, sebetulnya banyak pelajaran keberhasilan yang bisa dipetik dari beberapa daerah. Pelaksanaan pemilu dan pilkada di beberapa kabupaten dan kota di DI Yogyakarta adalah salah satu contoh keberhasilan pelaksanaan pemilu langsung. Ternyata pemilu bisa dilaksanakan aman, lancar, meskipun ada kekurangan dalam peraturan maupun sarana pendukung.

Apa yang harusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk menciptakan pemilu aman bisa dilakukan dengan cara mudah. Pertama, melakukan pemetaan atas aktor yang terlibat. Mereka terdiri dari elit parpol dan massanya (pihak I), penyelenggara dalam hal ini KPU, Bawaslu dan pemerintah (pihak II), Aparat keamanan baik polisi dan militer (pihak III). Di atas semua itu, ada regulasi pemilu yang disusun DPR dan Pemerintah (pihak IV) membawa potensi konflik.

Aturan Pemilu yang berlaku secara nasional, semestinya disepakati dan memuaskan semua pihak yang akan berkompetisi. Tetapi, dari dua kali pemilu (2004 dan 2009) dan pelaksanaan ratusan pilkada, diketahui bahwa pernah ada aturan yang memuaskan semua pihak. UU maupun turunannya selalu memiliki nuansa kepentingan politik, yang kemudian menyebabkan imbas konflik ketika aturan dilaksanakan di bawah. Apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) adalah, memahami sisi-sisi lemah aturan itu, dan ‘menambalnya’ dengan langkah bijak kreatif di tingkat operasional. Tetapi tetap saja, aturan yang baik di tingkat nasional, merupakan cara pencegahan konflik yang paling efektif sejak awal.

Berkaitan dengan para aktor peserta pemilu (elit parpol dan massanya), mereka membawa potensi konflik. Para elit politik berkompetisi membawa massa. Kekerasan bisa dilakukan oleh massa (yang tidak paham aturan main), jika elit potilik menggerakkan atau karena tidak terima atas sebuah aturan atau putusan. Karena itu, memahamkan elit atas aturan, dan melibatkan mereka dalam membuat aturan main praktis di tingkat lokal, amat penting. Di sini dibutuhkan kemampuan manajerial penyelenggara pemilu, dimana di satu sisi penyelenggara harus tegas dalam menjalankan aturan, tetapi di sisi lain, penyelenggara pemilu juga harus taktis dalam melihat kondisi lapangan. Karena itu siapa yang layak menjadi anggota KPU sejak awal sudah harus direncakanan hingga terpilih orang-orang yang memiliki kemampuan organisasi yang baik.

Selain itu, aparat keamanan, dalam hal ini polisi (dan militer) yang ditugaskan juga memiliki peran. Mereka membutuhkan anggaran. Demikian juga peran pengadilan dan kejaksaan untuk tingkat tertentu masih dibutuhkan untuk edukasi warga dalam system pemilu yang demokratis, meskipun, peran kejaksaan dan pengadilan tidak lagi besar.

Satu soal yang sering dikeluhkan oleh penyelenggara pemilu adalah kurangnya dukungan birokrasi dari sisi kebutuhan dana yang cepat. Pemilu dan pilkada adalah kegiatan regular, tetapi pendanaan untuk para pelaksana pemilihan di tingkat lokal di tingkat bawah, selain jumlahnya kecil, ketika turun terlambat.

Beberapa kebutuhan
Dengan melihat peta persoalan yang ada, maka pemilihan secara langsung demokratis adalah sesuatu yang bisa dilakukan dan ditetapkan sebagai cara pemilih pemimpin, sepanjang beberapa syarat untuk ini, dipenuhi dengan tertib. Semua harus diawali dengan perencanaan yang baik. Dalam hal aturan pemilu yang berkualitas adalah hal kunci. Sejauh mungkin aturan yang disusun memenuhi kebutuhan, emuaskan semua pihak yang akan berkompetisi. Lalu, pelaksa di bawah harus paham, karena itu kebutuhan pelatihan pada pihak penyelenggara adalah penting, termasuk sosialisasi, koordinasi dan simulasi dengan pihak keamanan, sehingga pemilu (dengan cara yang dipilih) merupakan sebuah kebutuhan dan mudah dilaksanakan.

Dalam hal kebutuhan data pemilih, maka di masa depan Single Indentity Number (SIN) merupakan kebutuhan. Depdagri mengatakan, kebutuhan untuk itu senilai Rp 6,7 trilyun, hampir sama dengan jumlah uang yang hilang dibobol lewat kasus Bank Century. Tetapi, jika itu belum memungkinkan, maka pendataan pemilih lewat RT, RW tetap merupakan cara yang terbaik. Ada kemungkinan daftar ganda tetapi, jumlah pelanggaran karena ini tidak signifikan.

Berkaitan dengan mahalnya ongkos penyelenggaraan pemilihan, maka langkah cepat yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah penyatuan pelaksanaan pemilu Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dalam satu waktu yang bersamaan sama dengan pelaksanaan DPR, DPD, DPRD I dan II, dalam waktu yang sudah bersamaan pula. Tingkat efisiensi ekonomi untuk ini amat tinggi, dan dari sisi pelaksana, mudah.

Peran Jurnalis dan Media.
Peran jurnalis dan media amatlah penting dalam membangun system demokrasi yang stabil. Dalam hal terbangunya system pemilu yang demokratis dan stabil, pemahaman jurnalis dan media akan masalah amat penting. Jurnalis harus paham latar belakang persoalan pemilu dan pilkada, paham UU dan paham kelemahannya, serta paham implikasi dari sebuah pemberitaan yang hanya berkutat pada “ramenya” peristiwa. Pilihan angle berita yang lebih mengedepankan substansi, sebagaimana biasa diajarkan dalam jurnalisme indepth, akan banyak membantu para jurnalis dan media dalam upaya menjadi bagian atau pihak yang ikut membangun stabilnya system demokrasi yang dipilih dan tercapainya tujuan memilih pemimpin berkualitas.
Karena itu, menjadikan ruang redaksi untuk tujuan itu adalah sebuah tugas mulia. ****

No comments: