Oleh: Bambang Muryanto
Kebebasan pers dapat berdampak baik atau buruk
Tetapi yang pasti tanpa kebebasan pers, tidak bisa menjadi apa-apa, kecuali keburukan
(Albert Camus)
Hingga saat ini, media
Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan BJ Habibie, kita mempunyai UU pers baru, yaitu UU No.40/1999 tentang Pers yang sangat memberikan jaminan atas kebebasan pers dalam tataran yang ideal.[1] Pasal 4, UU No.40 tahun 1999 tentang pers menyebutkan, Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”
Terbitnya UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran juga melindungi media
Bila kita sepakat untuk hidup dalam tatanan sistem politik yang demokratis, sudah selayaknya media
Melalui media
Meskipun UU Pers sudah memberikan jaminan atas kebebasan pers, tetapi fakta di lapangan hingga saat ini menunjukkan ancaman terhadap kebebasan pers ini masih ada. Masih saja ada kekuatan yang tidak menginginkan kehadiran dari pers yang bebas. Konsekwensinya, ancaman bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi publik dan menyatakan pendapat melalui media
Nah faktor apa sajakah yang menjadi ancaman bagi kebebasan pers saat ini:
Satu hal yang paling serius adalah kriminalisasi pers, yaitu memperkarakan jurnalis akibat berita yang mereka buat dengan tidak menggunakan UU pers sebagai landasannya, tetapi menggunakan UU yang lain seperti KUHP. Biasanya pasal yang digunakan adalah pasal pencemaran nama baik. Akibatnya banyak jurnalis yang menghadapi ancaman penjara. Ini jelas menumbuhkan ketakutan bagi jurnalis ketika akan meliput suatu isu yang konfliktual dan kontroversial.
Contoh terakir adalah Majalah Tempo yang menghadapi gugatan dari PT Asian Agri karena menulis dugaan mpengelapan pajak paling besar dalam sejarah Indonesia, yaitu sekira Rp 1,7 trilyun.
Kedua: Konglomerasi media
Sementara itu perusahaan media
Keempat: kondisi kesejahteraan dan perlindungan kerja yang buruk bagi jurnalis. Ini menyebabkan masih terus maraknya budaya ‘amplop’ atau sogokan yang jelas-jelas melanggar kode etik jurnalistik. Ini menyebabkan para jurnalis hanya memburu berita-berita yang ‘basah’ dan enggan menggali fakta di lapangan yang mempunyai nilai bagi kepentingan publik yang lebih besar.[3]
Kelima: tekanan dari perusahaan media
Keenam: munculnya berbagai peraturan UU yang berpotensi menghambat kebebasan pers. Salah satunya adalah RUU KUHP yang menurut mantan ketua Dewan pers, Atmakusumah memiliki 61 pasal yang berpotensi membawa jurnalis ke balik jeruji. Sebentar lagi kita juga akan mempunyai UU kerahasiaan negara, banyak orang berpendapat ini juga berpotensi memberangus kebabasan pers.
Dari berbagai persoalan ini, sudah selayaknya jika masyarakat sipil melakukan konsolidasi untuk memperjuangkan terciptanya jaminan atas kebebasan pers yang hakiki. Sekali lagi tanpa ada kebebasan pers maka tidak ada jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi publik yang penting bagi mereka.
UU pers kita sudah memberikan jaminan bagi media
[1] Sebetulnya UU Pers juga belum sempurna penuh, misalnya UU ini belum melindungi pers komunitas cetak dan citizen journalism atau jurnalisme warga.
[2] Latar belakang munculnya UU Penyiaran antara lain adalah media
[3] Filipina adalah salah satu Negara yang paling berbahaya bagi jurnalis. Sudah banyak jurnalis ditembak mati. Sayangnya masyarakat sipil kurang memberi dukungan bagi kasus ini Dalam percakapan dengan seorang jurnalis dari
No comments:
Post a Comment