Wednesday, February 2, 2011

Media Massa Tak Demokratis dalam Isu Keistimewaan Yogyakarta



Darmanto, pegiat Masyarakat Peduli Media (MPM) menilai ada kemerosotan demokrasi dalam laporan media massa soal isu keistimewaan Yogyakarta. Media massa hanya cenderung mengakomodasi suara-suara yang pro penetapan gubernur dan wakil gubernur dan melupakan mereka yang menolak penetapan.

Media massa dalam memilih narasumber sifatnya tunggal, artinya hanya yang pro penetapan dan jarang memilih yang tidak pro penetapan,” tegas Darmanto dalam diskusi bertema “Dinamika ruang redaksi dalam menyikapi isu keistimewaan Yogyakarta, di pendapa Taman Siswa, Selasa (1/2). Diskusi yang diikuti para aktivis pers mahasiswa, NGO dan pemerhati media ini diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta, Tempo biro Yogyakarta dan Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Lebih jauh Darmanto mengatakan media massa juga terjebak hanya melaporkan persoalan penetapan atau pemilihan gubernur dan wakilnya. Padahal ada banyak persoalan berkaitan dengan isu keistimewaan yang muncul sejak 2002 dan kian intensif akhir-akhir ini tetapi justru tidak diangkat. Misalnya soal konsep tahta untuk rakyat yang berimplikasi kepada kesejahteraan rakyat, kesiapan Kraton Yogyakarta sendiri dalam menghadapi keistimewaan, soal suksesi raja dan lain sebagainya.

“Tidak ada ruang (di media massa) bagi yang kritis dalam isu keistimewaan,” tandas Darmanto lagi. Ia memberikan contoh, misalnya media massa tidak berani melaporkan peristiwa yang berhubungan dengan kebijakan birokrasi, misalnya penambangan pasir besi di Kulon Progo atau penggusuran penduduk di pantai selatan. “Pemerintah DIY saja tidak bisa menyelesaikan persoalan pemilihan anggota KID (Komisi Informasi Daerah), bagaimana menyelesaikan persoalan yang besar?” gugat Darmanto.

Dengan kondisi yang demikian ini, laporan media massa menjadi tidak kritis dan cenderung menjual aspek konflik soal keistimewaan Yogyakarta guna menaikkan tiras atau rating media massa. Padahal sebetulnya media massa mempunyai fungsi yang lebih penting, yaitu memberikan pendidikan bagi publik dan tidak menonjolkan aspek sensasionalitas dari sebuah konflik.

Sementara itu, Sumardiyono, jurnalis dari Harian Jogja yang menjadi pembicara kedua dalam diskusi itu memberikan apresiasi tinggi terhadap kritik dari Darmanto. Dalam kesempatan itu, Sumardiyono mengatakan media massa tetap berusaha menjadi ideal dalam meliput isu keistimewaan di lapangan. “Kami berupaya untuk bersikap ideal,” tandas Sumardiyono.

Ia mengungkapkan ada beberapa kendala yang menghadang jurnalis dalam meliput isu keistimewaan Yogyakarta sehingga beritanya menjadi tidak ideal. Misalnya, narasumber yang pro pemilihan tidak berani disebutkan namanya. Karena tidak mau disebutkan namanya, berdasarkan kode etik jurnalistik, pernyataan dari narasumber itu tidak bisa dimuat.

Diujung diskusi, Darmanto mengingatkan agar media massa berpihak kepada kebenaran, bukannya kepada kekuatan-kekuatan tertentu. (Foto dan teks: bambang muryanto)

No comments: