Saturday, February 5, 2011

Max Lane: Kolonialisme Sumber Keterbelakangan Indonesia



Hari beranjak malam. Puluhan anak muda sudah memenuhi ruangan Realino Multicultur Campus yang tidak terlalu besar di kawasan Gejayan, Yogyakarta, medio Januari 2011 lalu. Mereka begitu antusias mengikuti diskusi buku berjudul ‘Sejarah Alternatif Indonesia’ karangan Malcolm Caldwell dan Ernst Utrect. Siapa yang dinanti para anak muda itu? Dia adalah Max Lane, seorang penulis dan pengajar masalah politik, sejarah dan sastra Indonesia di beberapa universitas di Australia. Kata anak-anak muda, Max Lane adalah ilmuwan berhaluan kiri!

Lane menyatakan gembira atas terbitnya buku sejarah alternatif ini dalam versi bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Djaman Baroe Yogyakarta. Mantan diplomat ini mengatakan selama jaman Orde Baru, penguasa melakukan pemalsuan sejarah selama 33 tahun untuk mempertahankan kepentingan kaum elit penguasa.

“Buku ini penting karena mengounter (melawan) sejarah versi Orde Baru yang cenderung memberi kesan negatif sejarah tahun 50 an dan 60 an,” ujar Lane yang berbadan tambun dan mengenakan kemeja putih bermotif kotak-kotak itu. Caldwell, seorang akademikus yang membaktikan kehidupannya pada kaum tertindas di negara-negara dunia III dan Utrect warga Indonesia yang ahli ilmu hukum dan politik, menulis buku ini pada pertengahan tahun 1970-an. Itu sebabnya Lane berpesan agar buku ini harus dilihat pada jamannya.

Sebagai contoh, Caldwell dan Utrect dalam buku setebal 544 halaman itu menjelaskan dengan sudut pandang lain tentang proses pembangunan sejak Presiden Soeharto berkuasa. Orde Baru selalu mengatakan pembangunan mampu menyejahterakan penduduk Indonesia. Rezim Soeharto harus membuktikan mereka lebih unggul dari rezim sebelumnya agar Soekarno dan komunis tidak muncul lagi. Jalan pragmatis pun dipilih dengan menerima sodoran bantuan utang luar negeri untuk memperbaiki kondisi ekonomi di dalam negeri dan berbagai kebijakan moneter yang menuntungkan modal asing.

Tidak lupa, Indonesia juga melakukan big sale kekayaan sumber daya alamnya, mulai dari Sumatera hingga Papua. Sejak Januari 1967 hingga Januari 1974 ada 681 proyek investasi asing yang tersebar di seantero nusantara (hal 291). Investasi asing ini juga didukung dengan berbagai peraturan yang menguntungkan para kapitalis itu. Belakangan kita tahu, investasi asing dan utang luar negeri membuat Indonesia menjadi kian miskin.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Wuryadi yang juga menjadi pembahas, menggarisbawahi peristiwa Konverensi Jenewa 1967 yang menjadi ajang pertemuan antara para menteri Indonesia -- dipimpin Sultan Hamengku Buwono IX -- dengan para pemilik multi national corporation (MNC) dari seluruh dunia. Di situlah terjadi transaksi penjualan sumber daya alam mulai dari Sumatera hingga Papua secara besar-besaran.

Dampaknya pun kelihatan, Indonesia tetap miskin. Industri juga tidak dapat berkembang dengan pesat.

“Peristiwa ini, tidak pernah diceritakan kepada generasi muda,” tandas Wuryadi yang semasa mudanya juga aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu. Pada masa mudanya, Wuryadi mengaku sering mendengar aktivitas Utrect di Partai Nasional Indonesia. “Tetapi saya belum pernah berjumpa,” tambahnya.

Lane mengatakan pemalsuan sejarah ini mengakibatkan mayoritas rakyat Indonesia menderita kesadaran palsu. Dampaknya, saat ini (setelah 66 tahun merdeka) bangsa Indonesia masih saja terpuruk kondisi sosial-ekonominya tanpa mampu menganalisa apa penyebabnya. Karena ada kepalsuan sejarah, asal-usul keterbelakangan (Indonesia saat ini) dicari sebabnya dijaman SBY- Boediono, Megawati-Hamzah Haz atau neo liberalisme. Padahal sumber kemiskinan Indonesia adalah kolonialisme.

“Sumber kemiskinan utama adalah kolonialisme. Saya setuju 1000 persen dengan ucapan almarhum Pramoedya Ananta Toer, jangan bayar satu sen pun utang luar negeri Indonesia, malah Eropa yang berhutang ke Indonesia. Saya kira itu sangat benar,” tandas Lane yang menerjemahkan novel-novel karya Pramoedya ke bahasa Inggris itu.

Walaupun diskusi sudah berlangsung hampir dua jam, anak-anak muda – menurut seorang kawan, banyak yang berideologi kiri mentok – masih tetap setia mengikuti diskusi yang berlangsung dengan santai itu.

Lane berharap para generasi muda membaca buku karya Caldwell dan Utrect ini karena dapat menjadi senjata untuk membuat perubahan ke depan. Dengan bahasa Indonesia yang fasih, Lane berharap generasi muda harus serius dan mendalami sejarah Indonesia agar dapat terbebas dari kepalsuan sejarah versi Orde Baru.

“Saya tahu mahasiswa budgetnya tipis, makannya nasi kucing, tapi harus beli. Mahasiswa harus punya perpustakaan sendiri,” ujar penulis buku Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto. Para peserta diskusi tergelak mendengarnya.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, diskusi pun berakhir. Ada peserta yang membeli buku (sayangnya) dengan kualitas cetakan yang tidak bagus itu. Malam itu Lane sudah ikut menyemaikan ‘benih-benih perjuangan’ untuk merubah masa depan Indonesia agar menjadi lebih baik. (foto dan teks: bambang muryanto)

1 comment:

Create Our Future said...

top feature,,,semoga bisa mengikuti jejakmu bang,,he