Saturday, January 26, 2008

TEMPO : Sejarah “Perang Saudara” di Tubuh Orde Baru

Oleh: Bambang MBK

RESENSI BUKU:
Judul : WARS WITHIN: The Story of Tempo. An Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia

Penulis : Janet Steele

Tebal : xxi + 328 halaman

Penerbit : Equinox dan ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) Singapore

Tahun : 2005

Sejarah pers Indonesia mencatat salah satu majalah berita terbaik yang pernah terbit di negara ini adalah Tempo. Walaupun hidup di dalam sistem politik otoriter, Tempo berani melancarkan kritik – meski halus -- kepada rezim Orde Baru yang alergi kritik. Keberaniannya ini tentu harus dibayar mahal. Pada tahun 1982 majalah ini dibreidel. Meski pemerintah Presiden Soeharto mengijinkannya terbit lagi, tahun 1994 majalah ini kembali dibreidel. Kali ini ia tidak sendiri sebab majalah Editor dan Tabloid Detik juga megalami nasib yang sama.

Selain kritis, majalah yang antara lain didirikan Goenawan Muhammad, Fikri Jufri dan Syu’bah Asa pada tahun 1971 itu juga mempelopori penggunaan ragam jurnalisme sastrawi di Indonesia. Adalah Tom Wolfe, seorang jurnalis terkemuka dari Amerika Serikat yang pertama kali memperkenalkan ragam berita yang menggabungkan teknik jurnalistik dan gaya penulisan satra (novel) ini. Hasilnya, produk berita seperti slogan resmi Tempo, “enak dan perlu dibaca”.

Dengan ramuan itu, Tempo menjadi majalah mingguan paling terkemuka di Indonesia dengan oplah pernah mencapai 160 ribu eksemplar. Bagi masyarakat luas majalah ini menjadi alternatif pencarian informasi yang lain dari versi resmi pemerintah yang ditulis semua media massa. Tempo juga menjadi referensi wajib bagi pusat studi Indonesia di berbagai universitas di luar negeri. David T. Hill, seorang pengamat pers Indonesia dari Universitas Murdoch, Australia pernah menulis Tempo adalah salah satu ‘gurunya ‘ dalam mempelajari bahasa Indonesia. Pendek kata Tempo adalah produk jurnalistik yang “nyaris sempurna”.

Meskipun masyarakat Indonesia tidak asing dengan sosok Tempo tetapi sedikit yang mengetahui sejarahnya. Buku karya Janet Steele yang berjudul “Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia” ini mencoba membeberkan perjalanan sejarah majalah lagendaris ini. Ditulis dengan gaya jurnalisme sastrawi, Steele mengkonstruksi riwayat hidup Tempo selama 23 tahun, yaitu sejak berdiri (1971) hingga Orde Baru membreidelnya (1994), plus deskripsi singkat tentang kasus gugatan Tommy Winata pada majalah ini (2004).

Setelah hampir dua tahun, buku ini terbit dalam bahasa Indonesia. Penterjemahnya adalah Arf Zulkifli, seorang wartawan Tempo juga. Ketika bicara dalam diskusi tentang buku ini di STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin (21/1) lalu, Pemimpin Redaki majalah Tempo, Thoriq Hadad mengatakan terjemahannya bagus. Sayang, dipoles sedikit oleh penerbit sehingga ‘sedikit mengganggu’. “Saya sarankan baca buku aslinya, lebih bagus,” ujarnya.

Secara tematik, karya Steele sebetulnya bukan hal baru. Setidaknya, Coen Husain Pontoh pernah menulis sejarah Tempo di majalah Pantau (Agustus 2001) dengan judul “Konflik Tak Kunjung Padam”. Dibandingka tulisan Pontoh yang hanya menitikberatkan pada konflik internal di tubuh Tempo, karya Steel lebih lengkap karena menceritakan berbagai hal seperti kultur internal di Tempo, sistem organisasi dan manajemen, kebijakan redaksi dalam menentukan berita, konsep iklan serta kiatnya agar lepas dari ‘hukuman gantung’ (baca: breidel) penguasa Orde Baru.

Di dalam buku ini juga bertebaran berbagai cerita menarik yang terjadi di Tempo. Misalnya cerita sejarah Amarzan Loebis (mantan tahanan Pulau Buru) menjadi wartawan Tempo. Atau karena kontrak iklan dengan maskapai penerbangan tertentu, Salim Said yang mendapat tugas ke Bangkok harus menempuh perjalanan sehari penuh sebab pesawatnya harus terbang ke Hong Kong dulu sebelum menuju Bangkok. Padahal jika langsung, jalur JakartaBangkok bisa ditempuh dalam 4 jam! Ada pula kisah ‘memilukan’ ketika puluhan wartawan Tempo melakukan eksodus besar-besar menuju majalah yang baru, Gatra.

Steele, seorang Associate Professor pada School of Media and Public Affair di George Washington University, AS itu tidak hanya sekedar menulis sisi internal sejarah Tempo saja. Ia juga menawarkan sebuah ‘jendela’ untuk melihat sejarah polik dan kebudayaan Indonesia di masa Orde Baru. Setiap peristiwa yang terjadi di Tempo, selau ia jelaskan dengan cara menariknya ke dalam konteks politik dan budaya yang tengah terjadi pada saat itu.

Sebagai contoh adalah keterlibatan pengusaha properti bernama Ciputra yang keturunan Cina itu dalam pendirian Tempo. Ciputra, salah seorang dari 20 konglomerat terbesar di Indonesia adalah penguasa Yayasan Jaya Raya yang sebagian juga dimiliki Pemerintah Kota Jakarta. Yayasan Jaya Raya menguasai 50 persen saham Tempo. Steele mangatakan ini adalah gambaran umum konstruksi bisnis di jaman Orde Baru dimana seorang pengusaha keturunan Cina selalu berkolaborasi dengan negara (diwakili Pemkot Jakarta) (hal 68).

Bagi Orde Baru, Tempo adalah ‘duri dalam daging’. Meskipun para pendirinya adalah angkatan 66 yang ikut mendukung militer dalam menumbangkan rezim Soekarno dan membuka jalan kekuasaan bagi Jenderal Soeharto, Tempo tetap melancarkan kritik walupun secara halus. Awak redaksi Tempo sadar jika melakukan kritik secara frontal maka majalah itu tidak akan selamat. Keyakinan ini semakin kuat setelah terjadinya peristiwa Malari tahun 1974 yang menyebabkan 12 media massa dibreidel. Kompromi adalah kata kunci agar selamat.

Kompromi pun diterjemahkan dengan berbagai cara seperti menulis program pembangunan Orde Baru dengan positif atau mengangkat versi pemerintah atas suatu peristiwa penting meskipun diimbangi dengan hasil investigasi Tempo sendiri. Tetapi yang paling kontroversial adalah keputusan resmi agar para petingi Tempo menjalin ‘lobi’ dengan para petinggi Orde Baru. Maka agak aneh ketika Tempo yang independen itu mengirim Goenawan Mohammad agar berakrab ria dengan Menteri Sekertaris Negara Moerdiono, Soesanto Pudjomartono dengan Jenderal Benny Moerdani, Eric Samola dengan Ketua Golkar Soedharmono dan Fikri Jufri dengan para petinggi CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang antara lain didirikan Jenderal Ali Moertopo.

“Lobi” ini memang terbukti ampuh karena berhasil menghidupkan kembali Tempo yang dibreidel pada tahun 1982. Namun ini tidak membuat Tempo jera. Tulisan kritis terus dilancarkan hingga akhirnya Tempo dibreidel lagi pada tahun 1994 karena menulis kontroversi pembelian kapal perang bekas dari Jerman yang dilakukan Menristek BJ. Habibie. Peristiwa pembreidelan Tempo ini mendapat tantangan luas dari kalangan kelas menengah Indonesia di berbagai kota. Mereka mengecam tindakan Orde Baru yang sudah ‘kelewat batas’.

Kali ini, Goenawan Mohammad bersikap keras. Sosok yang mau berkompromi selama 23 tahun demi menjaga keselamatan Tempo itu berubah menjadi “orang paling berbahaya di Indnesia” (hal 233). Ia melawan pembreidelan itu melalui jalur hukum. Selain itu, ia dengan dibantu para aktivis juga membuat ‘gerakan bawah tanah’ untuk menyebarkan berbagai informasi yang tidak mungkin muncul di media massa. Peristiwa pembreidelan Tempo pada akhirnya semakin mendorong masyarakat (kelas menengah) untuk makin mengobarkan perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang makin bertambah otoriter.

Itulah sebabnya, Steele memberi judul bukunya ini dengan “War Within” atau perang saudara. Para pendiri Tempo yang semula ikut mendukung kemunculan Orde Baru pada akhirnya ikut melakukan perlawanan dan sedikit banyak ikut melakukan proses deligitimasi terhadap Orde Baru yang akhirnya tumbang pada tahun 1998. Bagi Steele, proses perjalan sejarah Tempo itu tidak ubahnya seperti cerita dalam epos Mahabarata yang menceritakan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Sayangnya, dalam bukunya ini Steele tidak mengeksplorasi lebih jauh peran riil Tempo dalam proses gelombang reformasi yang akhirnya menurunkan Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.

Seperti diniatkan Steele, sejarah Tempo ini memang dapat menjadi sebuah jendela untuk melihat situasi politik dan budaya Orde Baru pada masa itu. Tetapi untuk yang satu ini, agaknya Steele tidak menawarkan sesuatu yang baru. Namun buku ini tetap menarik untuk dibaca, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada persoalan jurnalistik di Indonesia.

Buku ini juga bisa menjadi guru bagi para jurnalis yang tertarik kepada genre jurnalistik sastrawi. Sebab Steele juga pengajar jurnalisme sastrawi di Yayasan PANTAU. Ia juga detail dalam mencatat. “Saya kagum kepada Steele,” ujar Thoriq Hadad.

1 comment:

jidi said...

Selamat ya, situsnya sudah mulai bernafas. Ntar kalau saya slow ikut posting juga deh. Ayo yang lain silakan dituliskan.

Salam

Jidi