RESENSI BUKU:
Judul : WARS WITHIN: The Story of Tempo. An Independent Magazine in Soeharto’s
Penulis : Janet Steele
Tebal : xxi + 328 halaman
Penerbit : Equinox dan ISEAS (
Tahun : 2005
Selain kritis, majalah yang antara lain didirikan Goenawan Muhammad, Fikri Jufri dan Syu’bah Asa pada tahun 1971 itu juga mempelopori penggunaan ragam jurnalisme sastrawi di Indonesia. Adalah Tom Wolfe, seorang jurnalis terkemuka dari Amerika Serikat yang pertama kali memperkenalkan ragam berita yang menggabungkan teknik jurnalistik dan
Dengan ramuan itu, Tempo menjadi majalah mingguan paling terkemuka di
Meskipun masyarakat
Setelah hampir dua tahun, buku ini terbit dalam bahasa
Secara tematik, karya Steele sebetulnya bukan hal baru. Setidaknya, Coen Husain Pontoh pernah menulis sejarah Tempo di majalah Pantau (Agustus 2001) dengan judul “Konflik Tak Kunjung Padam”. Dibandingka tulisan Pontoh yang hanya menitikberatkan pada konflik internal di tubuh Tempo, karya Steel lebih lengkap karena menceritakan berbagai hal seperti kultur internal di Tempo, sistem organisasi dan manajemen, kebijakan redaksi dalam menentukan berita, konsep iklan serta kiatnya agar lepas dari ‘hukuman gantung’ (baca: breidel) penguasa Orde Baru.
Di dalam buku ini juga bertebaran berbagai cerita menarik yang terjadi di Tempo. Misalnya cerita sejarah Amarzan Loebis (mantan tahanan Pulau Buru) menjadi wartawan Tempo. Atau karena kontrak iklan dengan maskapai penerbangan tertentu, Salim Said yang mendapat tugas ke
Steele, seorang Associate Professor pada School of Media and Public Affair di George Washington University, AS itu tidak hanya sekedar menulis sisi internal sejarah Tempo saja. Ia juga menawarkan sebuah ‘jendela’ untuk melihat sejarah polik dan kebudayaan
Sebagai contoh adalah keterlibatan pengusaha properti bernama Ciputra yang keturunan Cina itu dalam pendirian Tempo. Ciputra, salah seorang dari 20 konglomerat terbesar di
Bagi Orde Baru, Tempo adalah ‘duri dalam daging’. Meskipun para pendirinya adalah angkatan 66 yang ikut mendukung militer dalam menumbangkan rezim Soekarno dan membuka jalan kekuasaan bagi Jenderal Soeharto, Tempo tetap melancarkan kritik walupun secara halus. Awak redaksi Tempo sadar jika melakukan kritik secara frontal maka majalah itu tidak akan selamat. Keyakinan ini semakin kuat setelah terjadinya peristiwa Malari tahun 1974 yang menyebabkan 12 media
Kompromi pun diterjemahkan dengan berbagai cara seperti menulis program pembangunan Orde Baru dengan positif atau mengangkat versi pemerintah atas suatu peristiwa penting meskipun diimbangi dengan hasil investigasi Tempo sendiri. Tetapi yang paling kontroversial adalah keputusan resmi agar para petingi Tempo menjalin ‘lobi’ dengan para petinggi Orde Baru. Maka agak aneh ketika Tempo yang independen itu mengirim Goenawan Mohammad agar berakrab ria dengan Menteri Sekertaris Negara Moerdiono, Soesanto Pudjomartono dengan Jenderal Benny Moerdani, Eric Samola dengan Ketua Golkar Soedharmono dan Fikri Jufri dengan para petinggi CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang antara lain didirikan Jenderal Ali Moertopo.
“Lobi” ini memang terbukti ampuh karena berhasil menghidupkan kembali Tempo yang dibreidel pada tahun 1982. Namun ini tidak membuat Tempo jera. Tulisan kritis terus dilancarkan hingga akhirnya Tempo dibreidel lagi pada tahun 1994 karena menulis kontroversi pembelian kapal perang bekas dari Jerman yang dilakukan Menristek BJ. Habibie. Peristiwa pembreidelan Tempo ini mendapat tantangan luas dari kalangan kelas menengah
Kali ini, Goenawan Mohammad bersikap keras. Sosok yang mau berkompromi selama 23 tahun demi menjaga keselamatan Tempo itu berubah menjadi “orang paling berbahaya di Indnesia” (hal 233). Ia melawan pembreidelan itu melalui jalur hukum. Selain itu, ia dengan dibantu para aktivis juga membuat ‘gerakan bawah tanah’ untuk menyebarkan berbagai informasi yang tidak mungkin muncul di media
Itulah sebabnya, Steele memberi judul bukunya ini dengan “War Within” atau perang saudara.
Seperti diniatkan Steele, sejarah Tempo ini memang dapat menjadi sebuah jendela untuk melihat situasi politik dan budaya Orde Baru pada masa itu. Tetapi untuk yang satu ini, agaknya Steele tidak menawarkan sesuatu yang baru. Namun buku ini tetap menarik untuk dibaca, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada persoalan jurnalistik di
Buku ini juga bisa menjadi guru bagi para jurnalis yang tertarik kepada genre jurnalistik sastrawi. Sebab Steele juga pengajar jurnalisme sastrawi di Yayasan PANTAU. Ia juga detail dalam mencatat. “Saya kagum kepada Steele,” ujar Thoriq Hadad.
1 comment:
Selamat ya, situsnya sudah mulai bernafas. Ntar kalau saya slow ikut posting juga deh. Ayo yang lain silakan dituliskan.
Salam
Jidi
Post a Comment