Puluhan jurnalis Yogyakarta berkumpul di sebuah ruang pertemuan di lantai lima, Hotel Saphir, Yogyakarta, Rabu pagi (1/6). Mereka mengikuti acara sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan yang diadakan Dewan Pers. Ya, Dewan Pers sudah mengeluarkan peraturan Dewan Pers No.1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Dengan peraturan ini, semua jurnalis di Indonesia harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang sudah diverifikasi oleh Dewan Pers.
Menurut Dewan Pers, standar kompetensi wartawan adalah sarana untuk menciptakan jurnalis atau wartawan profesional. Ini penting karena hanya wartawan yang profesional saja yang mampu memproduksi berita yang bagus untuk masyarakat.
Acara molor dari jadwal seharusnya, pukul 8.30. Sambil menunggu, saya bertegur sapa dengan kawan-kawan jurnalis lainnya. Saat duduk dan menikmati kopi, ingatan saya melayang belasan tahun ke belakang. Saat itu saya masih bekerja sebagai reporter sebuah koran lokal di Yogyakarta.
Dalam rapat redaksi pagi, redaktur menugaskan kawan saya untuk melakukan investigasi sebuah praktek pijat plus ilegal di sebuah hotel berbintang. Wah, sebuah tugas yang menarik! Maka dengan ‘semangat 45’, sang kawan yang juga diberi sangu untuk mencicipi pijat plus itu (sungguh beruntungnya dia!) berangkat melakukan investigasi. Dalam benak saya, besok pagi saya akan membaca hasil reportasenya yang bagus dan menarik.
Esok hari, ketika membuka lembar demi lembar koran dimana saya bekerja, saya tidak menemukan berita itu. Rasa penasaran berkecamuk di kepala, mengapa tidak ada beritanya? Ketika bertemu dengan kawan saya yang mendapat tugas untuk itu, saya bertanya mengapa berita soal praktek pijat plus di hotel berbintang itu tidak ada. Jawabannya sungguh membuat saya tercengang. “Mbang, beritanya tidak boleh dimuat karena sang pemilik hotel pernah memberi sumbangan semen untuk pembangunan rumah milik pemimpin redaksi.”
Kawan, ini jelas sebuah pelanggaran kode etik jurnalistik. Media massa tidak bisa bersikap independen. Tetapi memang begitulah kenyataan di lapangan. Para jurnalis di Indonesia mudah melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik, mulai dari copy paste, terima amplop, tidak melakukan verifikasi, nara sumber yang tidak tepat dan masih banyak lainnya. Tak heran jika pengajar jurusan komunikasi, Fisipol UGM, Wisnumartha dalam sebuah diskusi di Kedai Kebun, Yogyakarta mengatakan jurnalisme di Indonesia sedang mengalami kebangkrutan!
Kini, Dewan Pers mencoba menghapus potret parktik jurnalisme buruk itu. Ada tiga anggota Dewan Pers yang menjelaskan tentang pentingnya persoalan ini dalam acara itu, yaitu Agus Sudibyo, Muhammad Ridlo ‘Eisy dan Wina Armada Sukardi. Adapun sebagai moderator adalah Octo Lampito, pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat.
Agus, Wakil Direktur Yayasan SET dan mantan reporter Radar Jogja menjelaskan latar belakang mengapa Dewan Pers mempunyai kebijakan untuk menyertifikasi wartawan. Pertama ada upaya dari negera untuk melisensi kompetensi jurnalis. Menurutnya ini ide yang tidak baik karena selayaknya – dalam tatanan politik yang demokratis -- masyarakat pers sendiri yang berhak mengatur dirinya dan bukan negara.
Kedua, ada begitu banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan para jurnalis. Menurut catatan Agus Sudibyo yang duduk sebagai ketua komisi pengaduan masyarakat dan penegakkan etika di Dewan Pers, sepanjang tahun 2010 ada 512 pengaduan. “Delapan puluh persen adalah karena pelanggaran kode etik. Ini tinggi sekali, “ tandas pria asal Blitar ini.
Ada banyak macam pelanggaran kode etik jurnalistik, misalnya berita yang tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, mencampurkan antara opini dan fakta, data tidak akurat, dan sumber berita tidak kredibel. Sedangkan pelanggaran saat melakukan peliputan misalnya, jurnalis tidak melakukan wawancara langsung, tidak bisa memberikan bukti wawancara, melanggar privasi orang, tidak dapat menunjukkan identitas diri dan identitas waktu wawancara berbeda dengan identitas penulis berita.
Diujung presentasinya, pria yang produktif menulis untuk media massa ini mengingatkan bahwa bisnis media sangat tergantung kepada kepercayaan publik.Hal ini harus dijaga dengan meningkatkan kualitas jurnalisme. Pada saat yang sama media massa juga menghadapi tantangan berupa menurunnya kepercayaan publik, stagnasi daya beli masyarakat, sosial media, dan new media.
“Ada urgensi untuk menstandarkan kelayakan media dan kompetensi jurnalis,” ujar Agus.
Sementara itu Ridlo ‘Eisy berbicara dari perspektif perusahaan media. Ia mengatakan sekaya apa pun perusahaan media, hampir pasti akan bangkrut jika tidak punya wartawan yang berkualitas dan kompeten dibidangnya. Dalam catatan Dewan Pers, sudah ada lebih dari 1000 media cetak yang mengalami kebangkrutan sejak tahun 2002.
“Masyarakat langsung menghukum media massa yang tidak profesional,” tandas Ridlo. Saya masih ingat, inilah bentuk breidel yang alami dan tidak politis seperti di jaman Orde Baru yang suka membreidel media massa yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Soeharto itu.
Wina Armada yang menjadi pembicara terakhir lebih banyak berbagi soal teknis dan bagaimana pelaksanaan standar kompetensi wartawan. Ada tiga jenjang kompetensi, yaitu wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Bila seorang wartawan sudah lolos sertifikasi menjadi wartawan utama maka ia dapat menjadi penanggung jawab sebuah media massa.
Dalam presentasinya, Wina banyak membuat lelucon sehingga para jurnalis tertawa. “Kita ingin santai saja,” saja ujarnya. Ia adalah satu-satunya pembicara yang membawakan makalahnya dengan berdiri. Ia berpakaian necis dan mengenakan dasi.
Sedangkan untuk lembaga yang berhak melakukan seritifikasi, Wina menyebutkan ada empat lembaga. Mereka adalah perusahaan pers, perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi-jurnalistik, lembaga pendidikan wartawan dan organisasi wartawan. Namun syaratnya mereka harus lulus verifikasi dari Dewan Pers.
Hingga acara itu ditutup pada siang hari, tidak ada seorang jurnalis pun yang menyatakan penolakannya terhadap standarisasi kompetensi wartawan. Semoga memang demikian sebab ini adalah upaya serius untuk menegakkan martabat jurnalis sendiri. Para jurnalis harus mempunyai kompetensi. Seperti tertulis dalam buku berjudul “Standar Kompetensi Wartawan” terbitan Dewan Pers menyebutkan, pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.
Wuih…betapa mulianya pekerjaan jurnalis atau wartawan. Tetapi sekaligus ada beban berat yang harus diembannya. Ini adalah ‘oleh-oleh’ besar dari acara Dewan Pers, mengingatkan kembali peran dan fungsi strategis dari para pembawa pesan. Memang tidak mudah tetapi anyway, selamat berjuang kawan-kawan jurnalis! ( foto dan teks : bambang muryanto)